Tuesday, July 14, 2009
RATU IBU KIDUL
Setelah lilin itu dinyalakan, kemudian lampu kamar dimatikan, aku diharuskan memandangi nyala apinya selama beberapa menit sambil berkonsentrasi, kemudian memejamkan mataku.
Aneh, nyala api lilin seakan masih ada didepan mataku, padahal aku sudah memejamkan mata, terdengan guru pembimbing spiritualku berkata : " sebutkan warna-warna nyala api lilin yang kau lihat ", memang kemudian muncul nyala lilin warna merah, biru, kuning, hijau, bergantian, ada yang dua-tiga kali muncul, malah warna hitam juga muncul, setiap kusebutkan dicatat dengan teliti oleh guru pembimbingku.
Setelah nyala api lilin kemudian tidak muncul lagi maka lampu kamar dinyalakan dan diperlihatkan kepadaku catatan deretan warna-warna yang muncul saat aku memejamkan mata.
Setelah mempelajari catatan itu beberapa saat dan membandingkannya dengan beberapa catatan sebelumnya, kemudian dia menganggukan kepalanya, " Bagus ", katanya, " Mulai malam ini sudah bisa dilakukan upacara meraga sukma ". Aku sangat gembira karena tak sia-sialah usahaku mempersiapkan segala sesuatunya agar aku bisa meraga sukma, keluar dari tubuhku dan pergi kealam gaib yang sejak lama sangat kudambakan.
Tujuh simpul gaib ditubuhku dibuka olehnya, agar roh-ku bisa melepaskan diri dari raga-ku dan pergi berpetualang kealam gaib. Setelah beberapa kali mengadakan peneropongan secara gaib maka aku disuruh meditasi, menjalani ritual khusus, yaitu cara atau kunci agar bisa melepaskan diri dari kurungan raga, setelah sebelumnya berdoa minta perlindungan kepada Tuhan......... Allah SWT.
Saudaraku yang dari Solo telah sejak lama bisa meraga sukma dan menceritakan banyak pengalamannya yang fantastis (menurutku), dan membuatku sangat takjub dan tertarik untuk mempelajari ilmu ini, apalagi setelah dijelaskan bahwa kalau telah menguasainya dengan sempurna, maka batas ruang dan waktu menjadi tidak ada. Maksudnya adalah, bisa melihat kejadian-kejadian apa saja dan dimana saja, kapan saja, dari kamar tempat kita meditasi tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, selain tentunya bertemu dengan mahluk-mahluk alam gaib yang kasat mata.
Setelah menjalani ritual yang disuruh oleh guru pembimbingku, kemudian aku disuruh melompat keluar melalui ubun-ubun kepalaku, tentu saja aku bingung, bagaimana caranya, akan tetapi kucoba untuk melakukannya, yaitu roh-ku melompat keluar dari raga-ku
Sekali, dua kali gagal, yang ketiga kalinya sepertinya berhasil. Tiba-tiba aku sangat terkejut dan hampir berteriak kaget karena melihat diriku sedang duduk dengan serius dihadapanku melakukan meditasi. Lho koq bagaimana ini, aku bisa melihat diriku sendiri berada dihadapanku. Lalu aku sendiri yang sedang melihat diriku ini apa ?. Terdengar suara guru pembimbingku mengingatkan agar aku janganlah takut atau terkejut dengan kejadian ini.
Ternyata saat ini aku sedang berada dalam alam yang bersinar kebiruan, dan anehnya aku bisa melihat ketempat yang gelap sekalipun dengan jelas.
Aku menegok kesebelah diriku dan terlihat guru pembimbingku juga sedang duduk meditasi, disampingnya terlihat perwujudannya berpakaian putih-putih dan tubuhnya bercahaya, guru pembimbingku koq ada dua ?, fikirku.
Wujud yang bersinar dari guru pembimbingku memberi isyarat agar aku mengikutinya, aku mencoba berjalan tapi sangat sulit dan kaku, beberapa kali hampir terjatuh. Tubuh bersinar guru pembimbingku dengan tidak sabar memberi lagi isyarat agar aku mengikutinya, aku mencoba berjalan sebisaku mengikutinya berjalan keluar rumah.
Setibanya diluar rumah kulihat tiba-tiba guru pembimbingku tidak jalan dilantai, akan tetapi telah terbang naik beberapa meter dari tanah dan menunjuk kearah Selatan. Terdengar bisikannya jelas ditelingaku : " Coba-lah, kau bisa terbang sepertiku, kita terbang menuju ke arah Selatan ". Kucoba menjejakkan kakiku kelantai, keanehan terjadi tubuhku melayang naik beberapa meter tapi agak menggeliat miring, hampir jatuh.
Akhirnya aku berhasil menguasai tubuh halusku dan terbang mengikuti guru pembimbingku kearah selatan, terus menembus awan, melewati hutan, gunung dan akhirnya tiba ditepi pantai.
Gelombang laut terlihat menerjang kearah pantai dengan dahsyatnya dan membasahi kakiku, terlihat pembimbingku berjalan kearah laut, dan aku terus mengikutinya dari belakang.
Tubuhku mulai tenggelam kedalam laut, ketika air telah mencapai pinggangku terdengar pembimbingku berbisik : " Mohon agar bisa berjalan diatas air ", dan terlihat pembimbingku telah melesat dengan cepatnya diatas air terus menuju ke Selatan. Setelah memohon, pelan-pelan tubuhku terangkat dan bisa berjalan diatas air laut, pakaianku langsung kering seakan akan tidak pernah terendam air laut sebelumnya, kejadian ini sangat mengagumkanku sehingga membuatku menjadi bersemangat dan berlari cepat menyusul pembimbingku yang sudah jauh didepan.
Terlihat ada bentuk gapura didalam laut dan pembimbingku sedang meminta ijin kepada pengawal untuk masuk kedalam istana, mendadak laut terbuka membentuk lubang, ruang yang sangat besar dengan gapura yang indah, lengkap dengan anak tangganya, kami masuk kedalam dengan takjub. Sayup-sayup terdengar suara gamelan dengan nada-nada yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Istana bersinar kehijauan dan terlihat banyak yang lalu lalang akan tetapi tidak sedikitpun diantara mereka yang menoleh kearah kami. Mendekati pintu depan istana pengawal mencegat kami dengan memalangkan tombak yang bersinar keemasan, dan sekali lagi pembimbingku menyampaikan salam niatnya.
Terdengar suara merdu dari dalam dan para pengawal menyingkir memberi kami jalan masuk kedalam istana. Situasi Istana sulit untuk digambarkan, sangat indahnya, tiang-tiangnya berukir indah dan berkilauan berlapis emas dan lantainya juga berkilauan, dimana mana bertebaran hiasan-hiasan yang menakjubkan yang menambah indahnya istana ini.
Terdengar lagi suara merdu menyambut kami, dan dengan takjub aku melihat sesosok tubuh molek dengan busana serba hijau dan gemerlapan yang dihiasi intan permata, parasnya cantik bersinar dan berseri, memakai mahkota emas yang berkilauan, menyambut kedatangan kami, mahluk cantik jelita yang duduk disinggasananya ini sulit untuk digambarkan kecantikannya. Kemudian memberi isyarat dengan melambaikan tangannya agar kami mendekat.
Aku mendekat dan mengikuti pembimbingku yang menyembah dengan takzim sebagai tanda hormat, inikah Nyi Roro Kidul yang terkenal itu, Penguasa Laut Selatan, Ratu dari alam gaib, kesinikah aku dibawa oleh pembimbingku untuk menjumpainya dan memperkenalkan diriku. Terlihat Ratu Kidul turun dari singgasananya dan menyuruh kami berdiri, aku menundukkan muka tidak berani melihat wajahnya yang halus, cantik jelita dan bersinar, juga kearah busana atasnya yang agak tembus pandang dan memperlihatkan tubuh bagian atas yang aduhai.
Ratu memanggilku untuk mendekat, kemudian menyentuh kepalaku dan memberikan sebuah keris kecil, yang dengan agak kebingungan kemudian kuterima. Kuanggukkan kepala dan kuucapkan terima kasih atas pemberiannya. Ratu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum kearahku atas sikapku yang agak gugup tapi tetap santun. Setelah selesai bertemu dengan Ratu Kidul, kemudian pembimbingku menggamit tanganku untuk mengajak pulang.
Kami amit mundur, pamit dan meninggalkan istana dasar lautnya Ratu Kidul. Keris pemberian Ratu Kidul kugenggam erat-erat ditangan kananku.
Lain dengan masuknya, kami keluar dengan mudah tanpa halangan apapun dari para pengawal dan kemudian ‘ tancap gas ' terbang kembali ketempat kami meditasi. Sambil terbang aku terus-menerus melirik ke keris pemberian Ratu Kidul, dan tak henti mengaguminya.
Perjalanan pulang terasa sangat cepat dan tiba-tiba sudah berada dihadapan raga kami yang masih terlihat asyik bermeditasi.
Kulihat tubuh halusku memakai pakaian berwarna keperakan dan didadaku terlihat gambar Rajawali dan Naga sedang bercengkrama. Terus terang aku kaget dan kagum melihat penampilanku sendiri yang baru kuperhatikan, tidak dari awal saat keberangkatan ke Istana Ratu Laut Selatan. Tak terasa genggaman tanganku ke keris yang diberikan Ratu Kidul mengendur dan mendadak sontak tiba-tiba keris terbang berputar-putar serta menukik tajam masuk kedalam lengan kiriku dan menetap disana. Aku benar-benar terkejut atas kejadian ini dan terus meneliti keadaan tangan kiriku yang telah terisi keris. Takjub.
Begitu mendekati raganya ternyata tubuh halusku langsung tersedot masuk bagaikan asap yang dengan sangat cepatnya kembali menyatu dengan ragaku, alam biru perlahan memudar dan kesadaran timbul dalam diriku ‘ Aku sudah kembali ‘.
Aku membuka mataku perlahan dan sinar lampu dari kamar sebelah memasuki bola mataku dan menimbulkan kesadaran bahwa ‘ telah kembali ke alam nyata ‘. Kulihat guru pembimbingku-pun telah membuka matanya dan tersenyum kepadaku, kemudian berkata : " Sang Ratu telah berkenan memberimu keris ". Aku mengangguk-angguk dan keingintahuanku langsung menyeruak apakah guru pembimbingku melihat pakaian halusku, dan aku bertanya : " Apa bapak bisa melihat saya juga, seperti saya melihat bapak ? Kalau boleh tahu seperti apa tubuh halus saya ini dan bagaimana dengan pakaianku ? ".
" Tentu saja aku melihat juga dan pakaian keperakan yang kau kenakan sangat indah apalagi dengan gambar burung dan ular naga besar didadamu ", jawabnya lengkap dan memuaskan hatiku. Akh, ternyata apa yang kulihat sama dengan yang dilihatnya, berarti ini bukan mimpi atau khayalan saja tetapi benar-benar terjadi. Dan tubuhku bergetar keras karena sensasi hebat yang tiba-tiba muncul kedalam hatiku. " Luar biasa, sungguh luar biasa, .... ", hanya itu yang bisa kuucapkan lirih.
Tapi aku masih mengejar lagi dengan pertanyaan : " Sepertinya rumah ini ada mahluk halusnya terutama di pohon Nangka itu kelihatan galak ", dengan tersenyum pembimbingku berkata lagi : " Oh.... maksudnya mahluk berekor yang giginya runcing itu, dan dibelakang rumah mahluk perempuan dengan punggung bolong dan rambut riap-riapan, kalau tidak mengganggu biarkan saja, mereka kan dialamnya, kita dialam kita ". Memberi penjelasan lagi yang lebih meyakinkan kepadaku bahwa alam gaib itu memang ada, dan bisa kita lihat bila kita memang mempunyai kekuatan atau ilmu untuk menembus kealam gaib.
Karena apa-apa yang kulihat ternyata dilihatnya juga sama tak berbeda, dan kita bisa saling melihat tubuh halus kita seperti didunia nyata saja. Bedanya, apapun yang kita mohon dialam gaib dapat langsung terkabul, dan bisa kita dapatkan seketika itu juga, misalnya kita minta emas balokan, langsung ditangan kita muncul emas balokan 24 karat dengan berat misalnya satu kilo, akan tetapi bila kita kembali keraga kita dan membuka mata ternyata dialam nyata......., tidak ada ditangan kita emas balokan tersebut. Hanya ada di alam gaib.
Mungkin ada caranya untuk mewujudkannya kealam nyata tapi masih belum kuketahui bagaimana dan harus melakukan apa persyaratannya.....
Wajah cantik sang Ratu dengan Istana megahnya, keris pemberiannya serta pengalaman gaib perjalanan Meraga Sukma itu masih terus terbayang-bayang hingga beberapa hari kemudian, sampai kemudian pengalaman-pengalaman gaib lainnya yang lebih mencekam kudapatkan dan terus berlanjut hingga kini.
Demikianlah pengalamanku pertama kali bisa Meraga Sukma dan masuk ke-alam gaib yang menakjubkan, ternyata perjalanan dialam gaib yang rasanya lama itu, hanya memakan waktu 20 menit saja.
Akan tetapi dialam sana banyak mahluk-mahluk gaib yang jahat sehingga sangatlah berbahaya memasuki alam gaib tanpa bimbingan dan perlindungan yang kuat, bisa-bisa kita terperangkap dan tidak bisa keluar lagi sehingga dianggap telah mati (suri) oleh orang-orang, dan bila beberapa minggu atau bulan baru kita bisa kembali keraga kita mungkin raga kita sudah dimakamkan oleh keluarga kita (karena dianggap sudah mati, padahal belum).
Bayangkan begitu kita sadar kita berada dua meter didalam tanah terkurung di kegelapan, sudah dibungkus kain kafan, dan tidak mungkin menggali keatas, kita berusaha berteriak minta tolong, siapa yang mungkin mendengar dan bisa menolong.
PANCASILA BUNG KARNO
ENDANG Saifuddin Anshari, dalam bukunya berjudul: Piagam Jakarta 22 Juni 1945, mengemuka-kan pertanyaan sebagai berikut : “Apakah Soekarno benar-benar perumus yang pertama sekali Lima Sila itu?” Jawabnya adalah negasi. Tiga hari sebelum Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal itu, Muhammad Yamin telah menyampaikan, pada tanggal 29 Mei 1945, di depan sidang Badan Penyelidik tentang Lima Asas sebagai dasar bagi Indonesia Merdeka, sebagai berikut: Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.
Tidak terdapat perbedaan fundamental antara Lima Asas Yamin dan Lima Sila Soekarno itu. Perbedaan hanya dalam istilah yang digunakan untuk “demokrasi” dan dalam susunan atau urutan asas-asas tersebut. Mohammad Roem, seorang pemimpin terkenal Masyumi memandang : “Tema dari kedua pidato itu sama, jumlah prinsip atau dasar sama-sama lima, malah sama juga panjangnya pidato, yaitu dua puluh halaman dalam “Naskah” tersebut. 17) B.J. Boland mencatat bahwa atas dasar kesamaan ini maka orang sampai kepada kesim-pulan bahwa “The Pancasila was in fact creation of Yamin’s, and not Soekaro’s. 18) (Pancasila itu ternyata karya Yamin, dan bukan karya Soekarno).
(Dalam beberapa tahun terakhir hidupnya, dalam beberapa kesempatan baik secara implisit maupun eksplisit, Mohammad Hatta membantah anggapan bahwa Yamin perumus pertama ”Panca-sila”. Hatta memperkuat anggapan, bahwa Soekarnolah perumus pertama “Pancasila”. Ban-tahan Hatta tersebut meragukan, sekurang-kurang-nya menimbulkan beberapa pertanyaan . Mengenai masalah ini diperlukan pembahasan khusus, dan tidak akan diuraikan disini .
Bagaimanapun, ini semua bukanlah rumusan pertama prinsip-prinsip ini. Ketika Yamin dipecat dari Gerindo pada tahun 1939, kemudian dia dan kawan-kawannya mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo) berasaskan Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi. Enam tahun sebelumnya, dalam konferensi Partindo (Partai Indonesia) di Mataram pada bulan Juli 1933, Soekarno menya-takan bahwa bagi kaum Marhaen asas itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan (Marhaenisme). Di dalam ayat 1 putusan konferensi tersebut ditegaskan bahwa Marhaaenisme itu bukanlah lain melainkan Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi; 22) Sosio-nasionalisme terdiri atas (1) Internasionalisme dan (2) Nasionalisme, sedangkan Sosio-Demokrasi mencakup (3) Demokrasi dan (4)Keadilan Sosial; 23) Oleh karena itu jelaslah baik “Pancasila” Soekarno maupun Lima Asas Yamin bukanlah lain melainkan pernya-taan kembali (Restatement) empat segi Marhaenisme Soekarno yang dirumuskan pada tahun 1933 ditambah Ke-Tuhanan.
Keterangan-keterangan Soekarno sendiri me-ngenai prinsip-prinsip ini dalam Badan Penyelidik menunjukkan dengan jelas bahwa dia sendiri mengakui ketergantungannya pada orang-orang lain. Ketika membahas hubungan antara Nasional-isme dan Internasionalisme dan menyatakan :
“Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya,-katanya : jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya,- ialah Dr. Sun. Yat Sen ! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People Principles”. Saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politanisme yang diajarkan A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Thrre People Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa mengharap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen, – sampai masuk lobang kubur.
Ketika membicarakan prinsip keadilan sosial, Soekarno sekali lagi menyebutkan pengaruh San Min Chu I karya Dr. Sun Yat Sen :
“Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip : tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi : prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min chuan, Min Sheng : nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus ……. Kesejahte-raan sosial, ……. Sociale rechtvaardigbeid.”
Ketiga prinsip Nasionalisme, demokrasi dan Sosialis ini dapat ditelusuri kembali kepada tahun 1885. Menurut Soekarno :
“Maka demikian pula,jika kita hendak mendi-rikan Negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan : apakah “Weltans-chauuung” kita, untuk mendirikan negara Indo-nesia Merdeka diatasnya? Apakah nasionalis-sosialism? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen ?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok mereka, tetapi “Welants-chauuung”nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, difikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The Three People’s Principles” San Min Chu I, – Mintsu, Min chuan, Ming Sheng, -Nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh Dr Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauuung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.”
Marhaenisme Soekarno pada 1913 nampak jelas merupakan kembali The Three People’s daripada San Min Chu I ditambah Internasionalime. Prinsip Soekarno yang terakhir ini jelas diilhami oleh Kosmopolitanisme A. Baars yang dikritik dan dikoreksinya” kemudian diubahnya menjadi Internasionalime. Hal ini bukti dari pernyataan Soekarno sendiri, dan mengenai masalah ini tidak perlulah kita perbincangkan lebih lanjut. Perta-nyaan yang penting ialah dari sumber manakah Soekarno dan Yamin mengambil prinsip Ke-tuhanan.
Tiada keraguan, keduanya menemukan prinsip ke-Tuhanan ini dari alam fikiran dan cita-cita yang diungkapkan oleh pemimpin Islam di dalam Badan Penyelidik, yang menolak kebangsaan dan mengajukan Islam sebagai dasar negara. Van Nieuwenhuijse – dan juga yang lainnya – mengakui bahwa cita dan pengertian Ke-Tuhanan ini “has basically a Muslim background”, walaupun “it is not always necessarily unacceptable to non-Muslim” (pada dasarnya berlatar belakang muslim, walaupun tidak usah selalu tidak dapat di terima oleh golongan bukan (Muslim). Lebih tegas lagi jawaban Profesor Hazairin mengenai masalah ini :
“Dari manakah datangnya sebutan “Ketuhanan Y.M.E.” itu? Dari fihak Nasrani-kah, atau fihak Hindu-kah atau dari fihak “Timur Asing” (seorang keturunan Cina)-kah, yang ikut bermusyawarah dalam panitia yang bertugas menyusun UUD 1945 itu ? Tidak mungkin ! Istilah “ketuhanan Yang Maha Esa” itu hanya sanggup diciptakan oleh otak, kebijaksanaan dan iman orang Indonesia Islam, yakni sebagai penerjemah pengertian yang terhim-pun dalam “Allahu al-wahidu al-ahad” yang disalurkan dari QS. 2:163 dan QS. 112, dan dizikir-kan dalam doa Kanzu ‘Arsy baris 17.
Dengan kata-kata Departeman Agama :
It is just obvious that there is a relationship between the Pancasila’s principle of Belief in God the One with the Isamic Tawhid of Theology (the tawhid of Islamic theology ? – ESA). It is obvious that the first principle of Pancasila, which is “prima causa” or most primary, is in line with some of the teaching of Islamic Tawhid, Vis, “Tawhidushifat” (Tawhid as-sifat) and “Tawhid-I f’aal” (tauhid Af-al), in the sense that God is One in His deeds. These teachings are also accepted by other religions in Indonesia.
Jelaslah bahwa ada hubungan antara sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila dengan ajaran tauhid dalam teologi Islam. Jelaslah pula bahwa sila pertama Pancasila yang merupakan “prima causa” atau sebab pertama itu, sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam, dalam hal ini ajaran tentang tauhidu’s shifat dan Tauhidu ‘l-Af’al, dalam pengertian bahwa Tuhan itu Esa dalam sifat-Nya dan perbuatan-Nya. Ajaran ini juga diterima oleh agama-agama lain di Indonesia.
Bahwa prinsip ke-Tuhanan Soekarno itu didapat dari – atau sekurang-kurangnya diilhami oleh uraian-uraian dari para pemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno dalam Badan Penyelidik itu, dikuatkan dengan keterangan Mohamad Roem. Pemimpin Masyumi yang ter-kenal ini menerangkan bahwa dalam Badan Penyelidik itu Soekarno merupakan pembicara terakhir; dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa fikiran-fikiran para para anggota yang berbicara sebelumnya telah tercakup di dalam pidatonya itu, dan dengan sendirinya perhatian tertuju kepada (pidato) yang terpenting”, komentar Roem, “pidato penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato yang telah diucapkan sebelumnya”.
Penting untuk dicatat bahwa Soekarno sendiri secara tegas menolak anggapan bahwa dia “pencip-ta” pancasila. Dalam pidato inaugurasi penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada, dia menyatakan : “janganlah dikatakan saya ini pembentuk ajaran Pancasila. Saya hanya seorang penggali daripada ajaran Pancasila itu”.
Atas anjuran Presiden Soeharto, maka dibentuk-lah Panitia Pancasila yang terdiri atas lima orang, yakni : Mohammad Hatta, Ahmad Subardjo, A.A. Maramis, Sunario dan A.G. Pringgodigdo, yang dianggap dapat memberikan pengertian sesuai dengan alam fikiran, dan semangat lahir batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya.
Di dalam sidangnya pada tangal 10 januari 1979, pukul 09.15, terjadilah diskusi yang menarik kita catat sehubungan dengan masalah sumber peng-ambilan sila ketuhanan. Prof. Sunario, seorang tokoh penting PNI berkata : “Bung Karno mengatakan bahwa beliau adalah merupakan salah satu penggali Pancasila : saya kira ini benar”. Hatta langsung menyambut :
“Mungkin saja, tetapi yang jelas Bung Karno banyak mendapat ilham. Ya, memang demikian halnya, misalnya saja asas Ketuhanan dari pihak PSII merupakan asas perjuangan partai.
Dalam pelbagai kesempatan Soekarno sering mengungkapkan bahwa dia menggali “Pancasila”-nya itu langsung dari Indonesia sendiri, karena katanya, ajaran itu “dari zaman dahulu sampai dengan sekarang ini yang nyata selalu menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia”.
Ketika ada orang yang berkata, bahwa Soekarno menggali kurang dalam, dia menjawab :
“Dan saya tegaskan, saya ini orang Islam,tetapi saya menolak perkataan bahwa pada waktu saya menggali di dalam jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia kurang dalam menggalinya ……………
Sebaliknya saya berkata : Penggalian saya itu sampai zaman sebelum ada agama Islam. Saya gali sampai zaman Hindhu dan pra-Hindu. Masyarakat ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas saf itu, di atas saf itu ada saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf pra-Hindu, yang pada waktu itu telah menjadi bangsa yang berkultur dan bercita-cita.”
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bukanlah dari bumi Indonesia Soekarno terutama menggali “Pancasila”-nya itu : idea-idea dan sumber-sumber luar memegang peranan penting dalam pelahir-annya. Seperti telah disinggung di atas, penemuan Soekarno yang asli sekurang-kurangnya ialah pena-maan “Pancasila” itu. Roem menyatakan pendapat, bahwa “kalau ada yang harus kita akui dari Ir. Soekarno sendiri ialah nama lima dasar itu, yaitu “Pancasila”. Akan tetapi di dalam soal penamaan itu pun kita berkesimpulan, bahwa hal itu bukanlah asli dari Soekarno, karena dia sendiri mengakui :
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa – namanya Pancasila. Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia kekal abadi. ?
GUNA AVATARA
There are three guna-avataras, or qualitative incarnations of Visnu, also known as the Trimurti: Brahma, Visnu and Siva. While Brahma is one of the living entities, he is very powerful due to his devotional service. Lord Brahma is the master of the mode of material passion, and is directly empowered by Garbhodakasayi Visnu to create innumerable living entities.
Lord Shiva, while not described as a direct incarnation of the Lord in Srimad-Bhagavatam 3:1-35, is the third personality of the Trimurti, or trinity of deity. Lord Shiva's exalted personality and relationship to the Supreme Personality of Godhead, Lord Krsna, is described by Srila Prabhupada in Teachings of Lord Caitanya, Chapter 8, as follows:
"...by expanding Himself as Lord Shiva, the Supreme Lord is engaged when there is a need to annihilate the universe. Lord Shiva, in association with maya, has many forms, which are generally numbered at eleven. Lord Shiva is not one of the living entities; he is, more or less, Krsna Himself. The example of milk and yogurt is often given in this regard - yogurt is a preparation of milk, but still yogurt cannot be used as milk. Similarly, Lord Shiva is an expansion of Krsna, but he cannot act as Krsna, nor can we derive the spiritual restoration from Lord Shiva that we derive from Krsna. The essential difference is that Lord Shiva has a connection with material nature, but Vishnu or Lord Krsna has nothing to do with material nature. In Srimad-Bhägavatam (10.88.3) it is stated that Lord Shiva is a combination of three kinds of transformed consciousness known as vaikarika, taijasa and tamasa."
In his Purport to Srimad-Bhagavatam 8:12:4, Srila Prabhupada further explains:
"The Supreme Personality of Godhead, Visnu, resides within the material world as the sattva-guna-avatara. Lord Siva is the tamo-guna-avatara, and Lord Brahma is the rajo-guna-avatara, but although Lord Visnu is among them, He is not in the same category. Lord Visnu is deva-deva, the chief of all the demigods. Since Lord Siva is in this material world, the energy of the Supreme Lord, Visnu, includes Lord Siva. Lord Visnu is therefore called jagad-vyapi, "the all-pervading Lord." Lord Siva is sometimes called Mahesvara, and so people think that Lord Siva is everything. But here Lord Siva addresses Lord Visnu as Jagad-isa, "the master of the universe." Lord Siva is sometimes called Visvesvara, but here he addresses Lord Visnu as Jagan-maya, indicating that even Visvesvara is under Lord Visnu's control. Lord Visnu is the master of the spiritual world, yet He controls the material world also, as stated in Bhagavad-gita (mayadhyaksena prakrtih suyate sacaracaram). Lord Brahma and Lord Siva are also sometimes called isvara, but the supreme isvara is Lord Visnu, Lord Krsna."
TUHAN VAMANADEWA
Lord Vamanadeva, Bali Maharaja and His Non-Bona Fide Guru
August 15, 2008 by srila-prabhupada
Filed under Guru, Letters
Bali Maharaja is Mahajana because he wanted to serve Visnu by disobeying his non-bonafide spiritual master… one should be anxious to accept a spiritual master who is bona fide in spiritual knowledge. And if need be one should relinquish the connection of hereditary spiritual master and accept a real bona fide spiritual master.
Montreal 3 July, 1968
My Dear Satsvarupa,
Please accept my blessings. I am in due receipt of your letter dated June 28, 1968, and I thank you very much for it. Regarding Bali Maharaja: He is born in the same atheistic family of Maharaja Prahlada. He happened to be the grandson of Maharaja Prahlada, and as his great grand-father, Hiranyakasipu was very powerful, and as there was animosity between the demigods and the demons, Bali Maharaja also defeated the demigods several times, and was occupying all the planets. At that time Vamanadeva appeared as the son of Kasyamuni. Bali Maharaja was very charitably disposed. Sometimes the atheists are also very charitable. Persons who believe that we are doing pious activities, making charities and welfare work to the human society, why should we bother about God?–such persons even though very moral and pious in the estimation of the material world, are also demons, on account of their apathy for Krishna Consciousness. So, Bali Maharaja was a man of that type. Under the circumstances he was not averse to accept charity and other pious activities. He was being guided by his spiritual master, Sukaracharya. Sukara means the semina. In other words, one claims to become acharya on the principle of being born of a Brahmin father. They may be called sukaracharya, or acharya or preacher not by disciplic succession, but on the right of heredity. In India there are still superstitions that one should be initiated by such sukaracharya family. They are called generally as the jatigosain. Jatigosainmeans the caste spiritual master. All over India, especially in Bengal, this jatigosain spiritual mastership is very prevalent. But really goswami means one who is master of the influence of different senses, namely the influence of tongue, the influence of mind, the influence of anger, the influence of belly, the influence of genital, and the influence of talking. So one who is master of these influential webs of sense gratification, he is called goswami. Goswami is not by hereditary chart. So Sukaracharya posed himself as such goswami spiritual master. He had many mystic powers, therefore he was considered to be very influential spiritual master of the demons.
So when Vamanadeva appeared, Bali Maharaja was attracted by His beauty as a Dwarf Brahmin, and as he was charitably disposed, he wanted to give Him some charity. But Sukaracharya, being elevated in mystic yogic powers, he could understand that Vamanadeva was Visnu. And in order to favor the demigods, He had come there to cheat Bali Maharaja in the shape of begging some charities. Bali Maharaja was puffed up with his material vanities, and Vamanadeva as He is Visnu, all-peaceful, without interrupting his attitude, just approached him in the form of a Brahmin, Who has a right to beg something from the princely order. And the principle orders also are always disposed, to make charities to the Brahmins.
Question, para. 2, answer: Sukracarya as spiritual master of Bali taught him that everything should be offered to Visnu. But when Visnu actually appeared before Bali, he was afraid of Bali Maharaja’s charitable disposition. He warned Bali Maharaja that this Vamanadeva had come there to take everything from him in the shape of charity, therefore he should not promise Him to give anything. This advice revolted Bali Maharaja because he was formerly instructed that everything should be offered to Visnu, now, why Sukaracharya was asking him not to act by his previous instructions? Sukaracharya was afraid of his own position. He was living at the cost of Bali Maharaja, so if Vamanadeva would take away everything from Bali Maharaja, he was thinking how he would live. That is a materialistic temperament. The materialist does not want to serve or to give to Visnu, because he thinks that by giving away to Visnu he will be put into poverty-stricken condition. This is materialistic estimation. But actually that is not the fact, as it will be evidenced by the dealing of Bali Maharaja and Vamanadeva.
Question 1, answer: That is the materialistic way of worshiping. Materialists are always careful for maintaining his material status quo first, and then please Visnu. Although they profess to be devotees of Visnu. Therefore the Krishna Consciousness persons are greater than such materialistic worshippers. Materialist person perform all pious activities or devotional activities for some material gain, and as soon as there is any hindrance in the path of material gain, they at once become demon. Therefore bhakti means without any material desires. That is the sign of pure devotee. He has no motive to satisfy his material desires by devotional service.
Question 2, answer: That is just his military spirit, that Bali Maharaja says “If He be the illustrious Lord Visnu not desirous of foregoing His own fame, He shall wrest from me this earth after slaying me in battle, or He shall be slain by me.” The last portion of this question is not very clear.
Question 3, answer: Why Bali Maharaja is considered a Mahajana: Bali Maharaja is Mahajana because he wanted to serve Visnu by disobeying his non-bonafide spiritual master. As explained above, Sukracarya was hereditary spiritual master by seminic succession. But Bali Maharaja first revolted against this stereotyped seminic succession spiritual master, and therefore he is Mahajana. Srila Jiva Goswami has described in his Karamasandharvha that one should be anxious to accept a spiritual master who is bona fide in spiritual knowledge. And if need be one should relinquish the connection of hereditary spiritual master and accept a real bona fide spiritual master. So when Sukaracharya advised him contrary to his previous instructions, specifically, he checked Bali Maharaja in the matter of worshipping Visnu, and thus Sukaracharya became at once fallen down from the position of becoming a spiritual master. Nobody can become a spiritual master who is not a devotee of Visnu. A brahmana may be very expert in the matter of performing Vedic rituals, accepting charities, and distributing wealth–all these are exalted qualifications of the brahmanas, but the Vedic injunction is, in spite of possessing all these qualities, if somebody is against Lord Visnu, he cannot be a spiritual master. So when Sukaracharya advised Bali Maharaja against Visnu, he at once became unqualified for becoming a spiritual master. Bali Maharaja disobeyed such unqualified spiritual master, and therefore, he is accepted as Mahajana. Mahajana means a personality whose footprints should be followed. So, his exemplary behavior in rejecting a non-Vaisnava spiritual master being ideal to the bona fide students, he is considered a Mahajana.
If Jadurani wants to paint the picture of Bali Maharaja, it should be like this: 1) The hall must be very nicely decorated, & princely hall, 2) in one side of the hall, the royal throne should be presented as vacant, and 3) Bali Maharaja should pose himself bowing down before Lord Vamanadeva, and Vamanadeva should be painted with one leg on the earth; and one leg high in the sky; and one leg coming out of his navel, and put on the head of Bali Maharaja. This means the charity of one’s possessions is not full for the Supreme Personality of Godhead, but when one’s personal body and head is given to the service of the Lord, then one becomes perfect in offering everything to the Lord. This is called complete surrender of everything that a devotee may possess.
Bali Maharaja may be shown as not more than 40 years old, very nice looking king, well dressed like the royal order, and with mustache and no beard. Sukaracharya should be wearing a Saivite tilaka, and also Maharaja Bali can have a Saivite tilaka, until after he meets with Vamanadeva, and then you can change Bali Maharaja’s tilaka into a Vaisnava one.
Yes, Pradyumna is typing that 3rd canto and will send you soon. Hoping you are all well.
Your ever well-wisher,
A. C. Bhaktivedanta Swami
P.S. While posting this letter, I have received your letter by 2nd July, 1968. I am glad to learn that Kirtana process in the Park is going on well as you received $50.00 last Sunday. This is very encouraging as in N.Y. also they are following the same process with success. I have received one letter from Rayarama as he is not going to Boston but he is in L.A. He will write you. Regarding immigration, I am sending here with the copy of the letter addressed to Mr. Hamilton. I think you should see Mr. Hamilton & take from him written letter advising me the right direction. I don’t want to see the U.S. Counsel.