Sunday, October 16, 2011

BHAJA GOVINDA

Sri Sankaracharya dikenal luas karena ajaran Vedantanya. Sankaracharya lahir di desa Kaladi, di India Selatan, sekitar 2500 tahun yang lalu dari keluarga Brahmana dengan orang tua bernama Sivaguru dan Aryamba. Pada kehidupannya yang singkat, ia berkelana ke seluruh India dan berhasil mengembalikan penduduk India yang pada waktu itu banyak memeluk agama Buddha kembali menjadi Hindu. Dalam hidupnya, dia juga mengulas banyak kitab-kitab suci Veda. Namun hasil karya Bhaja Govindam mungkin adalah karyanya yang paling termasyur.

Sankaracharya mengajarkan filsafat Veda yang bersifat advaita. Filsafat ini mengajarkan bahwa segala sesuatu pada akhirnya satu. Pada perkembangannya, banyak komentar-komentar pustaka Veda, seperti Brahma-samhita, Upanishad, dan lain-lain, ditulis oleh orang-orang yang mengikuti prinsip-prinsip advaita buah pemikiran Sankaracharya. Akibatnya muncul pemahaman impersonalis dan mengaburkan bahwa segala sesuatu tercipta hanya karena Tuhan Yang Maha Esa. Namun uniknya, meskipun terkesan impersonalis dan advaitis, sebelum Sri Sankaracharya meninggalkan dunia ini, dia menyusun doa Bhaja Govindam yang membangkitkan mood pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa Sri Govinda, Krishna.

Dalam doa Bhaja Govinda ini Sri Sankara menekankan pentingnya mengembangkan pengabdian bhakti bagi Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna, yang merupakan sarana dasar mencapai moksa, kebebasan penderitaan material. Inilah doa instruksi terakhir Sri Sankara yang meyakinkan kita untuk melepaskan egoisme kita dan menyerahkan diri kepada Sri Krishna. Doa ini juga merangkum semua substansi dari pemikiran Vedanta dan karya-karya lain yang telah ia menulis.

Ada sebuah kisah terkait mengenai penyusunan doa ini. Dikatakan bahwa suatu hari Sri Sankara sedang berjalan sepanjang jalan di Varanasi dengan ditemani oleh murid-muridnya. Saat itu dia mendengar seorang sarjana tua mengajar aturan tata bahasa. Karena kasihan kepada sarjana tua itu, Sri Sankara menghampiri dan menasihatinya untuk tidak menghabiskan waktu pada tata bahasa, tapi harus ditujukan kepada pemusatan pikiran kepada Tuhan. Pada saat itulah Doa untuk Sri Govinda ini tersusun. Selain mengawali lagu doa dengan kata-kata “Bhaja Govindam”, Shankara juga dikatakan telah melantunkan dua belas ayat, sehingga dikenal dengan judul “Dvadasamanjarika-Stotra” (Sebuah nyanyian rohani yang merupakan sekelompok dua belas sloka). Bersama keempatbelas muridnya, Sankaracharya kemudian diyakini telah menambahkan masing-masing satu ayat lagi. Empat belas ayat ini bersama-sama disebut “Chaturdasa-manjarika-Stotra“.



Sloka 1

bhajagovindam bhajagovindam
Govindam bhajamuudhamate
sampraapte sannihite kaale
nahi nahi rakshati dukrijnkarane

Sembahlah Govinda, Sembahlah Govinda, Sembahlah Govinda. Oh bodoh! Aturan Tata Bahasa tidak akan menyelamatkan Anda pada saat kematian.

Sloka 2

mudha jahiihi dhanaagamatrishhnaam
kuru sadbuddhim Manasi vitrishhnaam
yallabhase nijakarmopaattam
Tena vittam vinodaya chittam

Oh bodoh! Hentikan dahagamu untuk mengumpulkan kekayaan, curahkan pikiranmu untuk Yang Nyata. Puaslah dengan apa yang datang melalui tindakan yang telah dilakukan di masa lalu.

Sloka 3

naariistanabhara naabhiidesham
drishhtvaa maagaamohaavesham
etanmaamsaavasaadi vikaaram
Manasi vichintaya vaaram vaaram

Jangan tenggelam dalam khayalan dengan mengumbar nafsu dan bernafsu melihat pusar dan dada wanita. Badan adalah daging, lemak dan darah. Jangan gagal untuk mengingat ini dalam pikiran Anda.

Sloka 4

naliniidalagata jalamatitaralam
tadvajjiivitamatishayachapalam
viddhi vyaadhyabhimaanagrastam
lokam shokahatam cha samastam

Ketidakpastian adalah kehidupan manusia yang bagaikan tetes hujan di atas daun teratai. Ketahuilah bahwa seluruh dunia akan selalu menjadi mangsa penyakit, ego dan kesedihan.

Sloka 5

yaavadvittopaarjana saktah
staavannija parivaaro raktah
pashchaajjiivati jarjara Dehe
vaartaam koapi na gehe prichchhati

Selama manusia kuat dan mampu mendukung keluarganya, dia melihat kasih sayang semua orang di sekitarnya. Namun tidak akan ada lagi yang peduli bahkan bicara dengannya di rumah itu ketika tubuhnya lemah karena usia tua.

Sloka 6

yaavatpavano nivasati Dehe
taavatprichchhati kushalam gehe
gatavati vaayau dehaapaaye
bhaaryaa bibhyati tasminkaaye

Ketika seseorang masih hidup, anggota keluarganya menanyakan tentang kesejahteraannya dengan ramah. Tapi ketika jiwa telah meninggalkan tubuh, bahkan istrinya lari karena takut mayat.

Sloka 7

baalastaavatkriidaasaktah
tarunastaavattaruniisaktah
vriddhastaavachchintaasaktah
pare Brahmani koapi na saktah

Masa kanak-kanak hilang dalam bermain. Masa muda hilang oleh keterikatan terhadap perempuan. Usia tua hilang dengan berpikir lebih banyak hal di masa lalu. Ohh! Tentu saja setiap orang yang terpisah akan hilang pada Parabrahman.

Sloka 8

kaate kaantaa kaste putrah
samsaaro.ayamatiiva vichitrah
kasya tvam kah kuta aayaatah
tattvam chintaya tadiha bhraatah

Siapakah istrimu? Siapakah anakmu? Semua ini adalah samsara. Apakah diantaranya ada dirimu? Dari mana anda berasal? Saudaraku, renungkanlah kebenaran-kebenaran ini.

Sloka 9

satsangatve nissngatvam
nissangatve nirmohatvam
nirmohatve nishchalatattvam
nishcalatattve jiivanmuktih

Dari Satsanga (pengetahuan tentang kebenaran) muncul ketidakterikatan, dari ketidakterikatan muncul kebebasan dari delusi, yang mengarah ke kesadaran diri. Dari kesadaran diri datang Jivan Mukti (pembebasan).

Sloka 10

vayasigate kah kaamavikaarah
shushhke niire kah kaasaarah
kshiinevitte kah parivaarah
gyaate tattve kah samsaarah

Apa gunanya nafsu ketika masa muda telah hilang? Apa gunanya adalah danau yang tidak memiliki air? Di mana kerabat ketika kekayaan hilang? Dimana samsara (kelahiran dan kematian yang berulang kali) ketika Kebenaran diketahui?

Sloka 11

maa kuru dhana jana yauvana garvam
Harati nimeshhaatkaalah sarvam
maayaamayamidamakhilaM hitvaa
brahmapadaM tvam pravisha viditvaa

Jangan membanggakan kekayaan, teman, dan keremajaan. Masing-masing dihancurkan dalam satu menit. Bebaskan dirimu dari ilusi dunia Maya dan capailah Kebenaran abadi.

Sloka 12

dinayaaminyau saayam praatah
shishiravasantau punaraayaatah
kaalah kriidati gachchhatyaayuh
tadapi na mujncatyaashaavaayuh

Terang – gelap, senja – fajar, serta musim dingin – musim semi datang dan pergi. Waktu bergulir dan kehidupan pun pergi. Namun badai tidak pernah meninggalkan keinginan.

Sloka 13

dvaadashamajnjarikaabhirasheshhah
kathito vaiyaakaranasyaishhah
upadesho bhuudvidyaanipunaih
shriimachchhankarabhagavachchharanarih

Syair dua belas sloka ini disampaikan dalam sebuah tata bahasa oleh Shankara yang mengetahui semuanya, yang dipuja sebagai bhagavadpada.

Sloka 14

kaate kaantaa Dhana gatachintaa
vaatula kim tava naasti niyantaa
trijagati sajjanasam gatiraikaa
bhavati bhavaarnavatarane naukaa

Oh orang gila! Mengapa keinginan ini hanya demi kekayaan? Apakah tidak ada seseorang yang membimbing Anda? Hanya ada satu hal dalam tiga dunia yang dapat menyelamatkan Anda dari lautan samsara. Bergabunglah secepatnya ke dalam perahu satsangha (pengetahuan tentang Kebenaran).

Sloka 15

jatilo mundii lujnchhitakeshah
kaashhaayaambarabahukritaveshhah
pashyannapi Kana pashyati muudhah
udaranimittam bahukritaveshhah

Ada banyak orang yang pergi dengan kunci kusut, banyak yang memiliki kepala dicukur bersih, banyak yang rambutnya telah dikuncir, beberapa berpakaian orange, namun orang lain dalam berbagai warna — semua hanya untuk mata pencaharian. Melihat kebenaran yang diwahyukan sebelum mereka, masih sebagai orang bodoh yang tidak melihat itu.

Sloka 16

angam galitam palitam mundam
dashanavihiinam JATAM tundam
vriddho yaati grihiitvaa dandam
tadapi na mujncatyaashaapindam

Kekuatan telah meninggalkan tubuh orang tua itu; kepalanya telah menjadi botak, gusinya ompong dan bersandar pada tongkat. Terikat begitu kuat dan ia menempel pada harapan yang sia-sia.

Sloka 17

setuju vahnih prishhthebhaanuh
raatrau chubukasamarpitajaanuh
karatalabhikshastarutalavaasah
tadapi na mujncatyaashaapaashah

Sesungguhnya terdapat kebohongan pada orang yang duduk memanaskan tubuhnya dengan api di depan dan matahari di belakang, pada malam hari ia meringkukan tubuh untuk berlindung dari udara dingin, ia makan makanan hasil meminta-minta dari mangkuk tangannya dan tidur di bawah pohon. Jauh dalam hatinya, ia adalah boneka menyedihkan di tangan hawa nafsu.

Sloka 18

kurute gangaasaagaragamanam
vrataparipaalanamathavaa daanam
gyaanavihinah sarvamatena
muktim na bhajati janmashatena

Orang mungkin pergi ke sungai Gangga, melakukan puasa, dan memberikan kekayaannya sebagai amal! Namun, tanpa jnana (ilmu pengetahuan), tidak ada yang bisa memberikan mukthi bahkan pada akhir seratus kelahiran.

Sloka 19

surah Mandira taru muula nivaasah
shayyaa bhuutala majinam vaasah
Sarva parigraha bhoga tyaagah
kasya sukham na karoti viraagah

Tinggalah di kuil atau di bawah pohon, gunakan kulit rusa untuk pakaian, dan tidur dengan ibu bumi sebagai tempat tidur Anda. Lepaskan semua keterikatan dan tinggalkan segala kenyamanan. Diberkati dengan Vairagya seperti itu, bukankah setiap hal akan menjadi kepuasan?

Sloka 20

yogarato vaabhogaratovaa
sangarato vaa sangaviihinah
yasya Brahmani ramate chittam
nandati nandati nandatyeva

Seseorang mungkin merasa senang yoga atau bhoga, mungkin memiliki keterikatan atau ketidakterikatan. Tapi hanya dia yang pikirannya selalu tercerahkan dalam Brahman menikmati kebahagiaan, bukan orang lain.

Sloka 21

Bhagavad giitaa kijnchidadhiitaa
gangaa jalalava kanikaapiitaa
sakridapi yena muraari samarchaa
kriyate tasya na yamena charchaa

Biarkan seorang membaca sedikit Bhagavad-Gita, meminum hanya setetes air sungai Gangga, memuja Murari (Krishna) hanya sekali. Dia tidak akan memiliki perselisihan dengan Yama (dewa kematian).

Sloka 22

punarapi jananam punarapi maranam
punarapi jananii jathare shayanam
iha samsaare bahudustaare
kripayaa apaare paahi muraare

Lahir, mati dan lahir lagi untuk tinggal di rahim ibu! Memang sulit untuk menyeberangi lautan samsara tak terbatas. Oh Murari (Krishna)! Bebaskanlah aku melalui belas kasihan-Mu.

Sloka 23

rathyaa charpata virachita kanthah
punyaapunya vivarjita panthah
yogii yoganiyojita chitto
ramate baalonmattavadeva

Tidak akan ada kekurangan pakaian bagi seorang suci selama masih ada kain terbuang di jalan. Dibebaskan dari kejahatan dan kebajikan, seterusnya ia mengembara. Seseorang yang tinggal dalam kesadaran Tuhan menikmati kebahagiaan, murni dan tidak tercemar, seperti anak kecil dan bagai orang yang terbius.

Sloka 24

kastvam ko.aham kuta aayaatah
kaa aku jananii ko aku taatah
iti paribhaavaya sarvamasaaram
vishvam tyaktvaa svapna vichaaram

Siapa kau? Siapa aku? Dari mana aku datang? Siapakah ibuku, siapa ayahku? Merenungkan demikian, lihat segala sesuatu sebagai hal yang bukan esensial dan menyerah pada kenikmatan dunia yang merupakan mimpi yang tidak berguna.

Sloka 25

tvayi mayi chaanyatraiko vishhnuh
vyartham kupyasi mayyasahishhnuh
sarvatra tvam bhava samachittah
vaajnchhasyachiraadyadi vishhnutvam

Dalam diriku, di dalam dirimu dan dalam segala hal, tidak ada hal lain tapi Sri Visnu (sebagai Paramatma) bersemayam di sana. Kemarahan dan ketidaksabaran Anda tidaklah berarti. Jika ingin segera mencapai kualitas seperti Sri Visnu, selalu miliki Sama Bhaava (pengabdian suci bhakti kepada Tuhan Sri Visnu).

Sloka 26

shatrau mitra putre bandhau
maa kuru yatnam vigrahasandhau
sarvasminnapi pashyaatmaanam
sarvatrotsrija bhedaagyaanam

Jangan membuang-buang usaha Anda untuk memenangkan cinta atau untuk melawan teman dan musuh, anak-anak dan kerabat. Lihat diri Anda dalam setiap orang dan hentikan rasa dualitas sepenuhnya.

Sloka 27

kaamam krodham lobham moham
tyaktvaa atmaanam bhaavaya ko aham
aatmagyaana vihiinaa muudhaah
te pachyante narakaniguudhaah

Hentikan nafsu, kemarahan, kegilaan, dan keserakahan. Renungkan sifat sejati Anda. Orang bodoh adalah mereka yang buta akan Sang Diri. Mereka akan dicampakkan ke neraka dan menderita di sana tanpa henti.

Sloka 28

geyam giitaa Naama sahasram
dhyeyam shriipati ruupamajasram
neyam sajjana Sange chittam
deyam diinajanaaya cha vittam

Secara teratur bacalah Bhagavad-Gita, renungkan Sri Visnu di dalam hatimu, dan nyanyikan ribuan kemuliaan-Nya. Akan tercerahkan dengan kemuliaan dan kesucian. Bagikan kekayaan Anda sebagai amal kepada orang miskin dan yang membutuhkan.

Sloka 29

sukhatah kriyate raamaabhogah
pashchaaddhanta shariire rogah
yadyapi loke maranam Sharanam
tadapi na mujnchati paapaacharanam

Dia yang menyerah kepada nafsu untuk kesenangan akan meninggalkan tubuhnya sehingga dimangsa penyakit. Meskipun kematian mengakhiri segala sesuatu, manusia selalu ada dalam jalan berdosa.

Sloka 30

arthamanartham bhaavaya nityam
naastitatah sukhaleshah Satyam
Dhana putraadapi bhaajaam bhiitih
sarvatraishhaa vihiaa riitih

Kekayaan tidak kesejahteraan, benar-benar tidak ada sukacita di dalamnya. Renungkanlah hal itu setiap saat. Orang kaya ketakutan bahkan pada anaknya sendiri. Begitulah kekayaan.

Sloka 31

praanaayaamam pratyaahaaram
nityaanitya vivekavichaaram
jaapyasameta samaadhividhaanam
kurvavadhaanam mahadavadhaanam

Mengatur Prana (nafas/udara kehidupan), tetap tidak terpengaruh oleh kondisi eksternal dan membedakan antara yang nyata dan yang sementara. Ucapkan nama suci Tuhan dan tenangkan pikiran yang bergolak. Lakukan ini dengan hati-hati, dengan sangat hati-hati.

Sloka 32

gurucharanaambuja nirbhara bhakatah
samsaaraadachiraadbhava muktah
sendriyamaanasa niyamaadevam
drakshyasi nija hridayastham devam

Oh pemuja kaki padma Guru kerohanian! Semoga engkau segera bebas dari Samsara. Melalui pengendalian indria dan pikiran dikontrol, engkau akan mencapai dan merasakan Tuhan bersemayam dalam hati Anda!

Sloka 33

muudhah kashchana vaiyaakarano
dukrijnkaranaadhyayana dhurinah
shriimachchhamkara bhagavachchhishhyai
bodhita aasichchhodhitakaranah

Jadi kekonyolan tatabahasa yang hilang dalam aturan dibersihkan oleh visi agung dan pencerahan oleh Sri Shankaracharya.

Sloka 34

bhajagovindam bhajagovindam
Govindam bhajamuudhamate
naamasmaranaadanyamupaayam
nahi pashyaamo bhavatarane

Sembahlah Govinda, sembahlah Govinda, sembahlah Govinda, Oh bodoh! Tidak ada cara lain untuk menyeberangi lautan kehidupan dan kematian selain melantunkan nama-nama suci Tuhan

Sunday, October 9, 2011

OMKARA

Suku kata “Om” atau “Aum” tentunya bukanlah suku kata yang asing lagi bagi seluruh penganut Veda. Tidak peduli apapun garis perguruannya maupun jalan/marga yang dia tempuh sudah pasti mengenal suku kata Om ini karena tidak ada satupun kitab bagian-bagian kitab suci Veda yang tidak mengandung suku kata Om ini. Apa sebenarnya Om sehingga menjadi primadona dalam kitab suci Veda?

Bhagavad Gita 7.8 memberikan penegasan bahwa suku kata Om mengacu kepada Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri; raso ‘ham apsu kaunteya prabhäsmi çaçi-süryayoù praëavaù sarva-vedeñu çabdaù khe pauruñam nrsu, Aku adalah rasa dalam air, cahaya matahari dan bulan, suku kata Om dalam mantra-mantra Veda; Aku adalah suara di angkasa dan kesanggupan dalam manusia”. Pernyataan yang serupa diperlihatkan dalam Bhagavad Gita 9.17; “pitäham asya jagato mätä dhätä pitämahaù vedyam pavitram omkära åk säma ajur eva ca, Aku adalah ayah alam semesta ini, ibu, penyangga dan kakek. Akulah objek pengetahuan, yang menyucikan dan suku kata Om. Aku juga Rg, Sama dan Yajur Veda”. Dan lebih lanjut dalam Bhagavad Gita 10.25; “maharñéëäm bhrgur aham giräm asmy ekam akñaram yajïänäm japa-yajïo ’smi sthävaräëäm himälayaù, diantara para rsi yang mulia, Aku adalah Bhrgu, diantara semua vibrasi Aku adalah Om yang transenden, diantara korban suci, Aku adalah pengucapan nama-nama suci (japa) dan diantara yang tidak terpindahkan, Aku adalah himalaya”. Jadi dari tiga sloka Bhagavad Gita ini menegaskan bahwa Om adalah Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri.

Sedangkan dalam Bhagavad Gita 17.23 disebutkan; “om tat sad iti nirdeço brahmaëas tri-vidhaù småtaù brähmaëäs tena vedäç ca yajïäç ca vihitäù purä, sejak awal ciptaan, ketiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak Yang Paling Utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra Veda dan pada waktu menghaturkan korban suci untuk memuaskan Yang Maha Kuasa. Dan dalam Bhagavad Gita 17.24 juga disebutkan; “tasmäd om ity dähåtya yajïa-däna-tapaù-kriyäù pravartante vidhänoktäù satatam brahma-vädinäm, karena itu, para rohaniwan yang melakukan korban suci, kedermawanan dan pertapaan menurut aturan Kitab Suci selalu memulai dengan “Om” untuk mencapai Yang Maha Kuasa.

Dari dua sloka Bhagavad Gita di atas kita mendapatkan informasi tentang pentingnya suku kata Om dan juga suku kata tat dan sat. Tiga kata Om tat sat diucapkan berhubungan dengan nama suci Tuhan Yang Maha Esa, misalnya, Om tad Visnoh. Bila mantra Veda atau nama suci Tuhan diucapkan, kata Om juga diucapkan sebagai tambahan. Ketiga kata Om tat sat diambil dari mantra-mantra Veda. Om ity etad brahmano nedistham nama (Rg. Veda) menunjukkan yang pertama. Kemudian tat tvam asi (Chandogya Upanisad 6.8.7) menunjukkan tujuan kedua. Sad eva saumya (Chandogya Upanisad 6.2.1) menunjukkan tujuan ketiga. Beberapa sloka Veda mengatakan bahwa Om tat sat pertama kali digunakan oleh mahluk hidup yang pertama, Dewa Brahma pada awal penciptaan dalam menghaturkan korban-korban suci yang ditujukan kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah sampai saat ini para penganut Veda menggucapkan kata “Om tat sat” dalam memulai pekerjaan dengan maksud menyerahkan semua hasil pekerjaannya hanya kepada Tuhan.

Penjelasan mengenai Om tat sat ini dapat kita temukan lebih lanjut dalam sloka-sloka berikutnya, yaitu Bhagavad Gita 17.25, 17.26 dan 17.27.

“tad ity anabhisandhäya phalaà yajïa-tapaù-kriyäù däna-kriyäç ca vividhäù kriyante mokña-käìkñibhiù, tanpa menginginkan hasil atau pahala, hendaknya seseorang melakukan berbagai jenis korban suci, pertapaan dan kedermawanan dengan kata ‘tat’. Tujuan kegiatan rohani tersebut adalah untuk mencapai pembebasan dari ikatan material” (Bhagavad Gita 17.25). “sad-bhäve sädhu-bhäve ca sad ity etat prayujyate praçaste karmaëi tathä sac-chabdaù pärtha yujyate yajïe tapasi däne ca sthitiù sad iti cocyate karma caiva tad-arthéyaà sad ity eväbhidhéyate, kebenaran mutlak adalah tujuan korban suci bhakti. Kebenaran mutlak ditunjukkan dengan kata ‘sat’. Pelaksanaan korban suci seperti itu juga disebut ‘sat’. Segala pekerjaan korban suci, pertapaan dan kedermawanan yang dilaksanakan untuk memuaskan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada sifat Mutlak juga disebut ‘sat’, wahai putra Prtha” (Bhagavad Gita 17.26-27).


Suku kata suci Om atau Omkara juga dikenal dengan istilah pranava dan aksara yang mengacu pada inti dari pengetahuan Veda yang disebut Maha-vakya. Sehingga tidaklah salah jika orang mengatakan bahwa tujuan mempelajari Veda hanyalah dua, yaitu ingat dan tidak pernah lupa pada Tuhan. Suku kata Om adalah suku kata yang paling awal dan paling dasar dalam literatur Veda dalam menyebutkan Tuhan.

Kebudayaan Mesir kuno juga mengenal kata yang sakral “Aum”, “Amen” atau “Amun” yang memiliki kaitan dengan suku kata Om yang menunjukkan “vibrasi energi paling purba”. Dalam Alkitab, Yohanes 1.1 disebutkan “Pada awalnya adalah sebuah kata, dan kata adalah dengan Tuhan dan kata adalah Tuhan, Amen(Aum)”. Beberapa abad setelah jaman Yesus, kata “Amen” di adopsi oleh oleh Islam menjadi kata “Amin”. Apakah kata Om teradopsi menjadi Aum dan berikutnya Amum, Amen dan terakhir Amin? Al-Qur’an sendiri diawali dengan suku kata “Alm” yang mungkin mengacu pada kata dasar Om. Kata Om ternyata juga dikenal oleh bangsa Maya sebagai vibrasi energi dasar yang diyakini dapat mengantarkan kehidupan. Dalam Agama Buddha juga dikenal istilah Om dalam mantra “Om Mani Padme Hum” . Om adalah bagian yang integral dari ritual, filsafat, meditasi dan japa bagi umat Buddha.

Hal yang cukup mengejutkan bahwasanya sudah sangat banyak penelitian ilmiah yang dilakukan untuk mengetahui efek dari suara suci Om ini. Salah satunya adalah untuk mengetahui stimulus yang diberikan oleh suara Om pada kemampuan otak manusia.

Yogacharya Vishwas V. Mandlik (Kulaguru, Yoga Vidyapeeth. Nashik) dan Dr. Ramesh Varkhede (Reader in Chemistry, H.P.T. College. Nasik) mengumpulkan 24 wanita dan 13 pria yang berumur antara 20-55 tahun untuk melakukan japa/pengucapan suara Om secara berulang-ulang selama 1 bulan, masing-masing 30 menit setiap paginya setiap hari.

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan psikotest terhadap para peserta untuk mengetahui daya ingatan, konsentrasi dan tingkat kelelahan otak mereka sebelum diadakannya terapi pengucapan Omkara. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan, psikotest berikutnya menunjukkan bahwa semua peserta mengalami peningkatan daya ingat, konsentrasi dan meningkatkan daya tahan otak.

Om sebagai elemen sakral dalam Yoga juga telah memberikan manfaat yang luar biasa dalam spiritual dan juga kesehatan dan di akui secara mendunia bukan hanya oleh Hindu, tetapi juga non-Hindu. Sehingga tidaklah salah jika Dewi Lestari Simangunsong, seorang penyanyi dan juga pembuat novel Supernova yang mencantumkan aksara suci Om pada sampul novelnya berkomentar bahwa Omkara adalah anugrah Tuhan untuk semua orang, sebuah simbol yang universal, bukan hanya mereka yang mengaku sebagai Hindu. Dia juga berujar bahwa Omkara memiliki banyak manfaat yang sudah dibuktikan secara ilmiah dan Omkara juga merupakan penghubung antara manusia dengan Tuhan.


Om Tat Sat

APA YANG TIDAK ADA DALAM VEDA?

Pada suatu kesempatan, atasan saya yang adalah seorang Kristen menyapa dan mengajukan pertanyaan ke saya, “Dik Wayan, kira-kira kenapa orang masuk Hindu?”. Pertanyaan bagus untuk memulai berdiskusi dan menjelelaskan ajaran Veda. Saya rasa pertanyaan ini muncul karena beberapa hari sebelumnya saya dan beliau sama-sama dinas ke Reaktor Nuklir Kartini di Yogyakarta. Dan saya mengajak atasan saya itu menginap di Narayana Smrti Ashram. Disamping karena saya kangen dengan kehidupan ashrama, saya pengen memperkenalkan tradisi Hindu yang diluar kaca mata pemahamannya. Bagaimana tidak, melalui sumber foto, bacaan dan berhadapan langsung dengan warga ashrama, disana dia melihat kalau Hindu tidak hanya dianut orang Bali, tapi juga orang jawa, orang bule, negro dan suku-suku bangsa lainnya. Hindu tidak hanya dianut oleh mereka yang dilahirkan dari keluarga Hindu, tetapi juga atas kesadaran mereka sendiri untuk menjadi pemeluk Hindu.

Pertanyaan beliau di atas, tidak serta merta saya jawab, namun saya bertanya bali ke beliau; “Bapak nanya saya, apa nanya orang-orang yang dari agama lain dan akhirnya masuk Hindu sebagaimana yang di ashrama? Kalau saya sendiri, karena memang ortu saya Hindu pak!”. Dengan diakhiri senym, saya menghentikan pembicaraan saya. Beliaupun mulai berbicara dengan panjang lebar. Yang pertama, sudah barang tentu dia mengomentari orang-orang yang masuk Hindu dan sebagaimana kebiasaannya, akhirnya pembicaraannya beralih ke seputar Alkitab, Yesus dan Kekristenan karena memang beliau adalah penganut Kristen yang taat.

Terdapat suatu pernyataan dan klaim yang menarik yang beliau sampaikan pada kesempatan itu. Pernyataan itulah yang merupakan ide dasar dalam penulisan artikel ini. Klaim yang sederhana, tetapi merupakan iman dasar bagi para pengikut Kristen. Beliau mengatakan bahwa; “Tidak ada satu agama manapun di dunia ini yang sebaik dan semudah Kristen, hanya di Kristenlah kita dapat menemukan kenyataan bahwasanya hanya dengan percaya pada Yesus dan menyerahkan diri kepadanya, maka segera dosa-dosa kita akan di hapuskan. Yesus datang ke dunia ini untuk menghapuskan dosa-dosa manusia yang percaya kepadanya. Tidak terdapat satu manusiapun di dunia ini yang luput dari dosa, dan untuk terbebas dan murni dari dosa sangatlah sulit, sehingga satu-satunya jalan yang mudah dan pasti untuk mencapai kerajaan Tuhan hanyalah dengan percaya pada Yesus Kristus. Hanya Kristen jugalah yang dapat memanggil Tuhan sebagai Bapa”.

Suatu klaim yang bagus. Klaim ini dapat dijadikan propaganda jitu bagi para kaum misionaris untuk mendapatkan pengikut. Saya tidak akan mempermasalahkan benar atau salahnya keyakinan mereka ini. Namun saya ingin mempertanyakan apakah benar konsep yang mereka yakini itu hanya ada di dalam ajaran Kristen?

“api ced asi päpebhyaù sarvebhyaù päpa-kåt-tamaù sarvaà jïäna-plavenaiva våjinaà santariñyasi yathaidhäàsi samiddho ‘gnir bhasma-sät kurute ‘rjuna jïänägniù sarva-karmäëi bhasma-sät kurute tathä, Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling berdosa diantara semua orang yang berdosa, namun apabila engkau berada didalam kapal pengetahuan rohani, engkau akan dapat menyeberangi lautan kesengsaraan. Seperti halnya api yang berkobar mengubah kayu bakar menjadi abu, begitu pula api pengetahuan membakar segala reaksi dari kegiatan material sehingga menjadi abu, wahai Arjuna”( Bhagavad Gita 4.36-37).

Krishna berkata,”Mama maya duratyaya mam eva ye prapadyante mayam etan taranti te, tenaga material (maya) Ku ini sungguh sulit diatasi. Tetapi siapapun yang berserah diri kepada-Ku, mudah mengatasinya” (Bhagavad Gita 7.14).

“Mam ca yo’vyabhicarena bhakti yogena sevate sa gunan samatityaitan, siapapun yang tekun dalam pelayanan bhakti kepada-Ku tanpa pernah gagal, seketika mengatasi (cengkraman tangan maya nan halus yaitu) Tri Guna” (Bhagavad Gita 14.26).

Dari sloka Bhagavad Gita 4.36-37, 7.14 dan 14.26 setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwasanya dosa dalam konsep Veda juga dapat dihapuskan. Kegiatan material dan kegiatan berdosa ini dapat segera hilang dan diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa setelah kita insaf dalam pengetahuan rohani dan menyerahkan diri kepada Beliau. Jadi tidaklah 100% benar argumen yang menganalogikan bahwa dosa bagaikan rasa pahit di dalam air dan untuk membuat air itu menjadi tawar, maka kita harus memasukkan air tawar sebanyak-banyaknya kedalam air pahit tersebut. Argumen ini menyatakan bahwa dosa tidak akan pernah hilang, tetapi seolah-olah hilang karena konsentrasi kegiatan kebajikan kita jauh lebih besar dari kegiatan berdosa. Konsep ini mungkin 100% benar untuk mereka yang belum dapat menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi bagi mereka yang menyerahkan diri secara murni, maka dosa-dosa mereka langsung dihapuskan dan segera di angkat ke planet rohani, Moksha.

Bagaimana dengan konsep Tuhan yang karena kasihnya turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia? Semua orang juga tahu kalau Hindu mengenal konsep Avatara, penjelmaan Tuhan ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang saleh dan membinasahkan orang-orang jahat dan menjaga tatanan Dharma (Bhagavad Gita 4.8). Bahkan menurut Veda, Tuhan datang ke dunia tidak hanya satu kali sebagaimana yang diyakini oleh Alkitab, tetapi dalam jumlah yang tidak terhitung banyaknya pada setiap jaman.

Bagaimana dengan Tuhan sebagai Bapa?

Dalam Bhagavad Gita 14.4 disebutkan: “aham bija pradah pita, Aku adalah ayah semua mahluk hidup…”. Bhakan dalam konsep Hindu, Tuhan tidak hanya dapat disebut sebagai bapak/orang tua, tapi juga dapat dianggap sebagai aspek lain, yaitu antara lain;

Atasan yang berkuasa penuh, posisi ini umum diterapkan oleh agama-agama di dunia, dimana Tuhan di takuti, dihormati karena Kemaha Kuasaannya dan Kemaha Mutlakannya.

Kekasih, Tuhan dapat dipuja seperti kita menyayangi kekasih. Inilah yang disebut “true love”. Contoh cerita orang-orang yang sanggup memuja Tuhan sebagai seorang kekasih adalah para gopi di Vrindavan yang memuja Krishna dalam aspeknya seperti seorang kekasih.

Anak, Tuhan juga dapat disayangi sebagaimana halnya seorang anak. Ibu Yasoda dan Nanda Maharaj menyadari betul bahwa Krishna adalah Tuhan Yang Maha Esa, namun mereka mendapat karunia untuk menyembah Krishna sebagai halnya seorang anak mereka.

Kawan, meski Arjuna mengetahui bahwa Krishna adalah Tuhan, namun Arjuna mampu menyembah Krishna dalam kedudukannya sebagai seorang kawan.
Namun perlu digaris bawahi bahwa masing-masing “rasa” dalam menyembah Tuhan disini tidak dapat dipaksakan. Tidak semua orang sanggup menganggap Tuhan seperti anak, sahabat atau kekasih, dan tidak semua orang juga bisa menyembah Tuhan seperti kedudukan atasan dengan bawahan. Cari dan pahamilah rasa yang tepat dalam diri anda sendiri.

Jadi dengan demikian konsep yang diklaim hanya ada pada ajaran Kristen dan diagung-agungkan oleh mereka sebenarnya sudah lebih dulu ada pada ajaran Veda. Dan dengan demikian, bagi umat Hindu yang ingin mengikuti pemahaman Kristen tidak perlu pindah manjadi Kristen bukan?

Bagaimana dengan senjata-senjata pemungkas propaganda agama dari agama-agama yang lainnya? Apakah juga terakomodir dalam ajaran Veda? Mari kita telusuri satu-persatu.

Akif manif Jabir, Ph.D dalam bukunya “The Hidden Treasure of Qur’an” menyatakan bahwa Ajaran Islam hanyalah salah satu dari empat jenis yoga marga yang terdapat dalam Hindu. Islam lebih menitikberatkan ajaran Bhakti, yaitu dengan bersujud dan mengagung-agungkan nama Tuhan.

Dalam Al-Qur’an 7.180 disebutkan “Hanya milik Allah asmaa-ul husna , maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya . Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. Dan selanjutnya dalam Al-Qur’an 69.52 disebutkan; “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar’.

Dalam Bhagavata Purana 12.3.51, disebutkan;“kaler dosa-nidhe rajan asti hy eko mahan gunah kirtanad eva krsnasya muktah-sangah param vra jet, Sang Raja mulia, meskipun Kali-Yuga penuh dengan kegiatan berdosa, tetapi jaman Kali ini membawa satu keberuntungan besar yakni hanya dengan mengumandangkan nama-nama suci Tuhan, orang dapat bebas dari derita dunia fana dan kembali ke dunia rohani. Disamping sloka ini, masih terapat banyak sloka-sloka Veda yang membenarkan Bhakti Yoga dengan cara mengumandangkan nama-nama Suci Tuhan sebagaimana yang sudah saya singgung dalam artikel sebelumnya, Hari-Nama Sankirtana.

Bagimana dengan memuja Tuhan dalam aspek kekosongan atau yang tidak digambarkan yang disebutkan dalam agama Islam dan juga agama Buddha? Veda menjelaskan bahwa Tuhan memiliki tiga aspek utama, yaitu Paramatman (Yang ada di mana-mana dan meresapi ciptaannya), Bhagavan (Tuhan yang berwujud pribadi) dan Brahman (Tuhan yang tidak berwujud/Nirguna) sebagaimana disinggung dalam Bhagavad Gita bab 12. Jadi dari segi penggambaran Tuhan, Hindu juga memberikan solusi yang lengkap. Jika anda tertarik dengan aspek Tuhan yang ada di mana-mana dan selalu menyertai diri anda dalam diri anda, maka anda dapat memuja aspek Paramatman. Jika anda tertarik dengan Tuhan yang berwujud pribadi, maka silahkan memuja Avatara-avatara Tuhan, namun jika anda lebih interest kepada kekosongan dan aspek Tuhan yang tidak berwujud, silahkan memuja Tuhan dalam Aspek Brahman.
Dimana Letak Sorga dan Neraka?
REP | 29 October 2009 | 13:28 1268 4 Nihil
--------------------------------------------------------------------------------


Neraka, sebuah kata yang membuat orang takut akan Tuhan, yang membuat orang takut melanggar aturan kitab suci dan yang membuat orang gelisah untuk melakukan kegiatan-kegiatan penebusan dosa. “Bisnis” neraka dalam sejarah kehidupan manusia ternyata cukup menjanjikan. Pihak gereja pada waktu lampau sanggup meraup milyaran dolar hanya dengan menjual surat penebusan dosa. Para tikus-tikus koruptor seolah-olah bebas dari dosa setelah melakukan pencucian uang dengan cara menyetorkan uang itu ke pundi-pundi sosial religius.

Sedangkan Sorga selalu menjadi media “iklan” yang paling menarik yang akan membuat manusia rajin sembahyang, rajin berderma dan berbuat baik, bahkan rajin melakukan tindakan-tindakan biadab atas dasar dogma-dogma agama.

Apakah sorga dan neraka itu nyata atau hanya ada dalam pikiran kita?

Pertanyaan yang sangat sering muncul, bahkan anehnya pertanyaan ini lebih sering mengantui mereka yang merupakan pengikut Veda, umat Hindu. Ironisnya, Neraka yang berasa dari kata sansekerta “Naraka” dan Sorga dari kata Svarga malah lebih diyakini keberadaannya oleh umat-umat agama Abrahamik. Bahkan kata sorga dan neraka ini malahan dijadikan bumerang terhadap umat Hindu agar dapat “diselamatkan” oleh mereka.

Apa, dimana dan bagaimana sebenarnya sorga dan neraka itu? Mari kita coba baca dan cermati kutipan-kutipan sloka-sloka berikut, dan akan saya mulai dari kutipan sloka-sloka tentang neraka.

Bhagavata Purana 5.26.7

“Beberapa sumber terpencaya mengatakan bahwa ada total 21 planet Neraka, dan beberapa mengatakan 28. Nama-nama planet Neraka itu adalah: Tamisra, Andhatamisra, Raurava, Maharaurava, Kumbhipaka, Kalasutra, Asipatravana, Sukaramukha, Andhakupa, Krmibhojana, Sandamsa, Taptasurmi, Vajrakanttaka-salmali, Vaitrani, Puyoda, Pranarodha, Visasana, Lalabhaksa, Sarameyadana, Avici, Ayahpana, Ksarakardama, Raksogana-bhojana, Sulaprota, Dandasuka, Avatanirodhana, Paryavartana da Sucimukha. Semua planet-planet Neraka ini dimaksudkan sebagai tempat hukuman bagi makhluk hidup.”

Bhagavata Purana 5.26.8

“Seseorang yang mengambil alih istri sah, anak-anak atau uang orang lain diseret pada saat kematian, oleh Yamadhuta yang menakutkan, yang mengikatnya dengan tali waktu dan melemparkannya dengan paksa ke dalam planet-planet Neraka yang bernama Tamisra. Di planet yang gelap ini, orang-orang berdosa di hukum oleh para Yamadhuta, yang memukuli dan memarahinya. Dia menderita kelaparan, dan ia tidak diberikan air untuk diminum. Demikianlah para asisten Yamaraj yang penuh murka, membuatnya menderita, dan kadang-kadang ia jatuh pingsan menerima berbagai siksaan mereka.”

Bhagavata Purana 5.26.11

“Di dalam kehidupan ini, orang-orang melakukan kekerasan terhadap para makhluk hidup. Oleh karena itu, setelah kematian, ketika ia diseret ke Neraka oleh Yamaraj, para makhluk hidup itu yang dulu ia sakiti muncul sebagai binatang yang bernama ruru untuk memberikan rasa yang amat sakit padanya. Orang terpelajar menyebut Neraka ini Raurava. Hewan ini tak dapat kita lihat di Bumi, ruru ini memiliki sifat lebih iri daripada ular.”

Bhagavata Purana 5.26.12-13

“Hukuman di Neraka yang bernama Maharaurava adalah wajib bagi orang yang memelihara badannya dengan menyakiti makhluk hidup lainnya. Di Neraka ini, ada hewan Ruru yang dikenal dengan nama Krayavada menyiksa dan memakan dagingnya. Untuk pemeliharaan badan mereka dan untuk kepuasan lidah mereka, Orang-orang jahat memasak hidup-hidup hewan-hewan dan burung–burung lemah. Orang-orang seperti itu dikutuk bahkan oleh pemakan manusia sekalipun. Pada kehidupan mereka kemudian, mereka diseret oleh para Yamadhuta ke Neraka yang bernama kumbhipaka, dimana mereka dimasukkan ke dalam minyak yang mendidih.”

Bhagavata Purana 5.26.14

“Seorang pembunuh Brahmana dimasukkan ke Neraka yang bernama Kalasutra, yang memiliki garis tengah 80.000 mil dan seluruhnya terbuat dari tembaga. Dipanasi dari bawah oleh api dan dari atas oleh Matahari yang membara, permukaan tembaga planet ini sangat panas sekali. Demikianlah para pembunuh Brahmana menderita terbakar baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam ia terbakar oleh rasa lapar dan haus, dan dari luar dia terbakar oleh panas matahari dan api yang berada di bawah permukaan tembaga. Oleh karena itu, kadang-kadang mereka terbaring, kadang duduk, kadang-kadang berdiri, dan kadang-kadang berlari kesana kemari. Dia harus menderita seperti ini selama ribuan tahun sebanyak rambut yang ada di tubuh seekor hewan ”

Bhagavata Purana 5.26.16

“Di dalam kehidupan yang akan datang, seorang raja atau wakil pemerintah yang berdosa, yang menghukum orang yang tidak berdosa, atau yang memberikan hukuman pada badan seorang brahmana, diseret oleh Yamadhuta ke Neraka yang bernama Sukharamuka, dimana asisten Yamaraj yang paling perkasa menghancurkannya, percis seperti orang meremas tebu untuk mendapatkan airnya. Para makhluk hidup yang berdosa menangis dengan menyedihkan dan akhirnya pingsan, sama seperti seorang manusia yang tidak berdosa menjalani hukuman. Ini adalah akibat dari menghukum orang yang tidak bersalah.”

Bhagavata Purana 5.26.19

“Seseorang, yang bukan karena terancam jiwanya, merampok seorang Brahmana atau bahkan orang lain (yang bukan Brahmana sekalipun) dan mengambil permata (atau benda-benda berharga)-nya dan emas, ditempatkan ke dalam Neraka bernama Sandamsa. Di sana kulitnya dilapisi dan dipisahkan oleh bola-bola dan jepitan besi merah panas, maka keseluruhan badannya terpotong menjadi berkeping-keping.”

Bhagavata Purana 5.26.20

“Seorang laki-laki atau wanita yang terlibat dalam hubungan seksual dengan pasangan tidak sah, dihukum setelah kematiannya oleh para asisten Yamaraja di Neraka yang bernama Taptasurmi. Disanalah laki-laki dan wanita yang melakukan kesalahaan itu, dipukul dengan cambuk. Sang laki-laki dipaksa untuk memeluk besi merah panas yang berbentuk wanita. Dan yang wanita dipaksa untuk memeluk besi yang sama namun berbentuk laki-laki. Itulah hukuman bagi seks yang tidak sah.”

Sloka-sloka tentang neraka di atas hanyalah sebagian kecil dari gambaran neraka yang terdapat dalam kesusastraan Veda. Namun demikian sloka-sloka tersebut sudah memberikan gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana menderitanya hukuman-hukuman yang harus di jalani di alam neraka.

Lalu bagaimana kenikmatan di sorga?

Dalam Bhagavata Purana 5.17.12 dikatakan bahwa di Surga atas termasuk di Bumi sebelum munculnya zaman kali ribuan tahun yang lalu para penduduk hidup selama sepuluh ribu tahun dan semuanya mirip dewa. Mereka mempunyai kekuatan badan sepuluh ribu gajah dan badan sekuat halilintar. Masa muda dalam kehidupan mereka sangat menyenangkan, baik pria dan wanita menikmati persatuan seks dengan sangat menyenangkan dengan jangka waktu yang lama. Setelah sekian lama mengalami kenikmatan sensual dan ketika sekitar setahun masa kehidupan masih tersisa sang istri mendapatkan seorang anak. Demikianlah standar kesenangan para penuduk Surga ini sama persis dengan manusia yang hidup pada Treta Yuga.

Lebih lanjut dikatakan bahwa di Sorga terdapat banyak taman penuh bunga dan buah sesuai dengan musim, dan ada pertapaan-pertapaan yang dihias dengan baik. Antara gunung-gunung besar yang membatasi wilayah-wilayah di sana, ada danau-danau sangat besar berisi air jernih penuh dengan bunga-bunga padma yang baru tumbuh. Burung air seperti angsa, bebek, ayam air, dan angsa merasa sangat senang karena keharuman bunga-bunga padma, dan suara-suara kumbang yang mempesona, memenuhi udara. Para penduduk tempat ini merupakan pemimpin-pemimpin penting di antara para dewa. Selalu disertai oleh para pelayan mereka yang terhormat, mereka menikmati hidup di taman-taman disisi-sisi danau. Dalam keadaan yang menyenangkan, istri-istri para dewa tersenyum dengan riang kepada suami-suami mereka dan melihat mereka dengan tatapan nafsu. Seluruh dewa dan istri-istrinya disediakan bubuk cendana dan kalungan bunga secara teratur oleh pelayan-pelayan mereka. Dengan cara demikian, para penduduk varshakedelapan menikmati, tertarik dengan kegiatan lawan jenis.

Bhagavata Purana 8.2.7-8;

“Tiga bahan dasar utama yang ada di puncak Gunung Trikuta terbuat dari besi, perak dan emas, yang memperindah segala arah dan angkasa. Gunung ini juga memiliki puncak yang lain, yang penuh dengan permata dan berbagai mineral dan dihiasi dengan pohon-pohon, tanaman menjalar dan semak-semak yang indah. Suara-suara air terjun di atas gunung menciptakan vibrasi yang menyenangkan. Begitulah adanya gunung itu, semakin meningkatkan keindahan disegala penjuru. Tanah lapang di kaki gunung selalu di bersihkan oleh gelombang ombak susu membentuk jamrud di sekiling gunung, di delapan penjuru mata angin. Para penduduk planet-planet atas seperti para Siddha, Carana, Ghandarva, Vidyadhara, para Naga, Kinnara dan Apsara biasanya pergi ke gunung untuk bermain-main (sport). Demikianlah semua gua di gunung itu penuh dengan penduduk-penduduk Surgawi ini.”

“Lembah-lembah di bawah Gunung Trikuta terhias indah dengan beraneka ragam hewan hutan, dan di dalam pohon-pohon yang terawat di taman-taman oleh para dewa, ada beraneka jenis burung bersiul dengan suara-suara merdu. Gunung Trikuta memiliki banyak danau dan sungai, dengan pantai-pantai yang ditutupi dengan permata/mutiara-mutiara kecil menyerupai butiran-butiran pasir. Airnya sejernih kristal, dan ketika bidadari para dewa mandi di dalamnya, badan-badan mereka memberikan keharuman kepada air dan angin sepoi yang bertiup, yang memperkaya atmosfer di sana.”

Bhagavata Purana 7.4.8-11;

“Hiranyakasipu, yang memiliki segala kemewahan mulai tinggal di Surga, dengan taman Nandananya yang terkenal, yang dinikmati oleh para dewa. Pada kenyataannya, dia tinggal di istana Dewa Indra, Raja Surga. Istana itu dibangun secara langsung oleh arsitek para dewa, Visvakarma dan dibuat sedemikian indah, seolah-olah Dewi Keberuntangan alam semesta ini berstana di sana. Jalan-jalan setapak di kediaman Raja Indra terbuat dari coral, lantainya terhias dengan Jamrud yang tak ternilai, tembok-temboknya terbuat dari kristal, dan pilar-pilar terbuat dari batu yang bernama Vaidurya. Canopi-canopi terhias dengan indah, tempat-tempat duduk terhias dengan batu ruby, dan tempat tidur terbuat dari sutra, seputih busa, yang terhias mutiara. Gadis-gadis istana itu, yang diberkati dengan gigi-gigi yang indah, dan wajah-wajah yang paling cantik, berjalan ke sana dan ke mari di istana itu, gelang kaki mereka bergemerincing dengan merdu, dan mereka melihat bayangan mereka sendiri di permata-permata.”

Kita sudah melihat gambaran tentang kondisi planet-planet neraka dan surga menurut Bhagavata Purana. Namun, sebagain dari kita mungkin masih bertanya, dimanakah surga dan neraka itu berada? Apakah itu berada di bumi ataukah di tempat lain?

Saya akan mencoba menjelaskan susunan alam (loka) dalam satu alam semesta ini sebagaimana yang sudah digambarkan dalam poster alam semesta yang bisa di download dalam website ini.

Sebelum kita mencoba menentukan letak susunan alam-alam yang lain, mari kita samakan persepsi tentang orientasi arah (antara atas dan bawah) terlebih dahulu. Kenapa hal ini penting? Karena pada dasarnya yang disebut atas dan bawah adalah suatu kesepakatan. Di bumi kita mengatakan atas untuk mengatakan arah yang berlawanan dengan arah gravitasi bumi, dan mengatakan bawah untuk yang searah dengan gravitasi bumi. Tentunya orientasi arah yang kita gunakan untuk menentukan posisi dalam satu alam semesta ini bukanlah gravitasi bumi lagi, tetapi orientasi yang lain.

Dalam Bhagavata Purana 5.20.43-46 dikatakan “Matahari kita berada di pertengahan alam semesta, yaitu di wilayah ruang (antariksha) antara Bhurloka dan Bhuvarloka. Matahari ini membagi segala arah alam semesta. Karena kehadiran mataharilah kita dapat mengerti apa itu angkasa, apa itu planet-planet yang lebih tinggi, dan apa itu dunia ini”. Dengan berpatokan pada sloka ini kita akan menyepakati bahwa yang disebut atas dalam alam semesta kita adalah orientasi arah tata surya kita dengan pusat matahari menuju alam dewa brahma (Brahmaloka/satyaloka), dan yang disebut bawah adalah orientasi arah dari tata surya kita menuju kediaman Sri Sankarsana/Anantadeva.

Dalam Bhagavata Purana 5.23.9 dijelaskan jarak antara susunan alam-alam ini, yaitu sebagai berikut;

Dhruvaloka (bintang kutub), berjarak 3,800,000 yojana diatas matahari. Di atas Dhruvaloka yang berjarak 10,000,000 yojana adalah Maharloka, diatas Maharloka dengan jarak 20,000,000 yojana adalah Janaloka, diatas Janaloka dengan jarak 80,000,000 yojana adalah Tapoloka, dan di atas Tapoloka dengan jarak 120,000,000 yojana adalah Satyaloka. Alam Vaikuntha / Moksha / alam rohani terletak 26,200,000 yojana diatas Satyaloka.


susunan alam




Visnu Purana sendiri menjelaskan bahwa jari-jari alam semesta kita (dari matahari kita sampai pada sisi terluar dari satu alam semsta kita) adalah 260,000,000 yojanas.


Bhagavata Purana 9.24 58 dan 3.32.10 mejelaskan tentang planet Satyaloka yang merupakan susunan alam yang tertinggi dan dikatakan disana terdapat suatu bentuk menyerupai bunga padma raksasa yang sangat indah dan merupakan tempat singga sana Dewa Brahma yang selalu sibuk dalam meditasinya.



Di bawah satyaloka terdapat muniloka (tapaloka, janaloka dan mahaloka), yang merupakan tempat tinggal resi-resi agung yang selalu khusuk dalam meditasi. Sebagaimana dikatakan dalam Bhagavata Purana 11.24.11; “dengan yoga mistik, pengendalian diri yang luar biasa, mereka mencapai mahaloka, janaloka dan tapaloka, tetapi dengan yoga yang di tujukan kepada-Ku seseorang mencapai tempat tinggal-Ku yang kekal.

Di bawah Mahaloka terdapat Svargaloka atau alam sorga yang dipimpin oleh raja sorga, Dewa Indra. Di sorga hidup sekitar 330 juta dewa dengan tugas, kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dan dalam Aitareya Brahmana 1.1.1 disebutkan “Diantara para dewa, Agni adalah yang paling rendah dan Visnu adalah yang paling tinggi dan dewa-dewa yang lainnya adalah diantara ini”. Lebih lanjut tentang kenikmatan di sroga dan serba serbinya dijelaskan antara lain dalam Bhagavata Purana 2.42-43, 10.84.12, 5.19.28.




Dalam Bhagavata Purana 5.24.1-6 menjelaskan bahwa di bawah ”planet-planet atas” dibawah Svargaloka, terdapat susunan planet Bhuvarloka yang terletak masih di atas Bumi, planet-planet ini, yaitu mulai dari planet Rahu yang berjarak 80.000 mil di bawah matahari. Planet ini bergerak bagaikan salah satu bintang namun ia merupakan sebuah planet gelap dan tak terlihat; yang mana, keberadaannya dapat dilihat kadang-kadang ketika ada sebuah gerhana. Di bawah rahu 80.000 mil lagi ada planet-planet yang bernama Siddhloka (dimana hidup para Siddha, atau makhluk-makhluk yang secara alamiah memiliki kesempurnaan mistis, seperti bisa terbang dari satu planet ke planet lain tanpa memakai mesin, Caranaloka (dimana hidup para Carana atau para makhluk mirip minstrel ’penyanyi atau penyair pengelana’), Gandharvaloka (dimana hidup para Gandharva atau makhluk ’malaikat’ bersayap), dan Vidyadharaloka (dimana hidup para Vidyadhara, makhluk-makhluk halus yang menguntungkan, yang amat cantik dan bijaksana). Di bawah planet-planet ini merupakan tempat kenikmatan untuk para Yaksha (makhluk-makhluk halus misterius yang sering mengunjungi sawah-sawah dan hutan-hutan), para Rakshasha (makhluk raksasa yang mengembara tiap malam, dan juga membentuk kapal dan dapat mengambil wujud seperti anjing, burung hering, burung hantu, orang kerdil, dan lain-lain). Para Pishaca (makhluk-makhluk iblis yang makan daging, dapat merasuki orang-orang dan berkumpul di kuburan atau tempat crematorium dengan hantu lainnya), dan makhluk lainnya seperti hantu dan yang lainnya. Di bawah planet-planet yang gelap dan tak terlihat ini, sekitar ratusan mil adalah planet Bumi.



Berikutnya dalam Bhagavata Purana 5.24.87-9 menjelaskan bahwa di bawah tata surya kita masih terdapat tujuh planet lainnya, yang bernama Atala, Vitala, Sutala, Talatala, Mahatala, Rasatala dan Patala. Di tujuh sistem planet ini, yang juga terkenal dengan nama ”Surga Bawah” (bila-svarga), ada rumah-rumah, taman-taman dan tempat kenikmatan indrawi yang sangat indah, dan bahkan lebih mewah dibanding planet-planet diatas karena para raksasa memiliki standar kenimatan sensual yang sangat tinggi. Sebagian besar para penduduk planet-planet ini menikmati hidup tanpa gangguan. Demikianlah mereka dapat dimengerti sangat terikat kepada kebahagian ilusif. 240.000 mil di bawah Planet Patala tinggal salah satu inkarnasi Tuhan Yang Maha Kuasa, Sri Ananta atau Sri Sankarsana. Sri Sankarana merupakan lautan sifat-sifat rohani yang tidak terbatas.



Menurut Bhagavata Purana 5.26.5 dikatakan tepat di atas Sri Sankarsana dan dibawah sistem planet-planet bila-svarga, patala inilah terdapat susunan planet-planet neraka. Jadi letak planet-planet neraka adalah di susunan planet-planet terbawah dalam satu alam semesta.



Bhagavata Purana 5.26.37

“Di wilayah kekuasaan Yamaraja, ada ratusan dan ribuan planet-planet Neraka. Orang-orang tidak saleh seperti yang telah saya sebutkan-dan yang tidak saya sebutkan—semuanya harus masuk ke berbagai planet-planet ini sesuai dengan tingkat ketidaksalehan mereka. Mereka yang saleh, bagaimana pun juga, memasuki sistem planet yang lain, planet-planet para dewa. Namun, baik yang saleh maupun yang tidak saleh, kedua-duanya juga akan dibawa ke Bumi setelah segala pahala kegiatan saleh atau tidak saleh mereka habis.”



Jadi dari penjelasan yang cukup panjang mengenai susunan alam dalam satu alam semesta diatas kita sudah mengetahui dimana letak planet surga dan dimana letak neraka. Yang pasti, ternyata surga dan neraka tidaklah terletak di bumi atau hanya berupa kayalan kita saja, tetapi terletak di susunan planet-planet yang lain nan jauh disana. Sorga sebagai planet kenikmatan sementara juga bukanlah planet material yang tertinggi di alam semsta ini, tetapi masih ada planet-planet yang lebih tinggi, lebih indah dan lebih halus dari surga, yaitu Brahmaloka/Satyaloka. Sedangkan neraka sebagai “penjara” roh yang berbuat jahat terletak pada susunan planet-planet terbawah di alam semesta ini.

Meski standar kenikmatan dalam planet-planet atas begitu tinggi, jauh dibandingkan dengan di bumi, namun tujuan hidup kita bukanlah planet kenikmatan tersebut, tetapi mencapai alam rohani, Moksha yang Sat Cit Ananda sebagaimana disebutkan dalam Bhagavad Gita 8.16;

“Dari planet yang paling tinggi sampai planet yang paling rendah, semuanya adalah tempat-tempat kesengsaraan dimana berlangsung kelahiran dan kematian yang berulang. Namun, dia yang telah mencapai Tempat Tinggal-Ku, wahai putera Kunti, tidak akan pernah lahir lagi.”

Lebih lanjut dalam beberapa sloka-sloka dalam Bhagavata purana juga membenarkan tentang hal ini. Jangan menjadikan sorga sebagai tujuan akhir kehidupan kita di bumi ini, tetapi gunakan kesempatan hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya untuk mencapai alam Moksha, karena di bumi inilah disaat menjadi manusia kesempatan itu terbuka lebar.

Bhagavata Purana 5.19.21;

“Karena bentuk kehidupan manusia merupakan posisi yang mulia untuk keinsyafan spiritual, semua para dewa di Surga berbicara seperti ini: Betapa hebatnya makhluk manusia ini karena lahir di Bharata varsha (Planet Bumi). Mereka pasti telah melaksanakan kegiatan-kegiatan saleh berupa pertapaan di masa lalu, atau pribadi Tuhan Yang Maha Esa sendiri sudah puas dengan mereka. Kalau tidak, bagaimana mungkin mereka sibuk di dalam pengabdian suci dalam begitu banyak cara? Kita, para dewa hanya dapat bericta-cita untuk mendapat kelahiran sebagai manusia di Bharata Varsha untuk melaksanakan pengabdian suci, namun umat manusia ini sudah melaksanakan di sana”

Bhagavata Purana 5.19.22;

“Setelah melaksanakan tugas yang amat sulit dalam kurban suci ritualistik Veda, melaksanakan pertapaan, melaksanakan sumpah dan berderma, kami telah mendapatkan kedudukan ini sebagai penduduk planet-planet Surga. Namun apakah nilai dari pencapaian ini? Di sini kami sangat sibuk dalam kepuasan indra material, dan oleh karena itu kami sangat sulit untuk mengingat Kaki-Padma Narayana. Tentu saja, karena pemuasan indra yang berlebihan, kami hampir selalu melupakan Kaki-Padma-Nya.”

Bhagavata Purana 5.19.23;

“Sebuah hidup singkat di tanah Bharata Varsha adalah lebih baik dibandingkan sebuah hidup diBrahmaloka selama jutaan dan miliaran tahun karena jika seseorang diangkat ke Brahmaloka, dia juga mengulangi kelahiran dan kematian. Meskipun hidup di Bharata Varsha, sebuah planet yang lebih rendah, sangat singkat, namun orang yang hidup di sana dapat meningkatkan dirinya ke dalam Kesadaran Krishna (kesadaran akan Tuhan dan jati diri kita) penuh dan mencapai kesempurnaan tertinggi, bahkan dalam hidup yang singkat ini, dengan sepenuhnya menyerahkan diri kepada Kaki Padma Tuhan. Demikianlah seseorang dapat mencapai Vaikunthaloka (Planet-planet Rohani), dimana tidak ada kecemasan dan tidak pula ada kelahiran kembali dalam badan material.”

Bhagavata Purana 5.19.25;

“Bharata Varsa menawarkan lingkungan dan tempat yang tepat untuk melaksanakan pengabdian suci (Bhakti Yoga), yang dapat membebaskan orang dari segala akibat jnana (pengetahuan spekulasi) dankarma. Jika seseorang mendapatkan sebuah badan manusia di Bharata Varsha, dengan organ sensori yang jelas yang mana dapat melaksanakan Sankirtan Yajna ’mengucapkan atau menyanyikan keagungan nama suci Tuhan’, tetapi walaupun ada kesempatan ini, ia tidak menjalankan pengabdian suci, maka dia memang seperti hewan dan burung hutan yang bebas, yang kurang perawatan dan oleh karena itu, sekali lagi tertangkap oleh pemburu.”

Veda juga mengajarkan bahwasanya hidup sebagai manusia tidaklah bertujuan untuk menghindari kehidupan neraka, seorang penyembah Tuhan yang agung tidak akan pernah mempermasalahkan dimana dia akan dilahirkan, tidak menolak bagaimanapun kondisi kelahirannya asalkan dia bisa tetap ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana disebutkan dalam Bhagavata Purana 3.15.49;

“Oh Tuhan, kami berdoa semoga Engkau membiarkan kami lahir di dalam segala kondisi kehidupan Neraka, kalau hati kami dan pikiran kami selalu sibuk di dalam pelayanan suci kepada Kaki Padma-Mu, kata-kata kami menjadi lebih indah (hanya dengan membicarakan segala kegiatan-Mu) seperti halnya daun Tulasi dipercantik ketika dipersembahkan kepada Kaki Padma-Mu, dan sepanjang telinga kami selalu mendengar tentang sifat-sifat rohani-Mu.”



Jadi, apakah anda masih tertarik untuk pergi ke sorga?

KALI YUGA, ZAMAN KEMEROSOTAN SPIRITUAL

Dalam Bhagavata Purana 12.3.30 disebutkan; “Sa kaler tamasa smrtah, ketika sifat alam tamas (kegelapan/kebodohan) begitu pekat menyelimuti penduduk dunia, masa itu disebut Kali-Yuga. “Kaler prasupto bhavati sah, waktu ketika manusia tidur, itu di-sebut Kali-Yuga (Manu Smrti IX.302)”. Disini kata tamas (kegelapan) dan prasupto (tidur) berarti manusia tidak insyaf pada hakekat dirinya sebagai jiva spiritual abadi. Karena itu, Kali-Yuga disebut jaman kegelapan spiritual.

Kali-Yuga adalah salah satu dari empat (catur) Yuga yang kondisi kehidupan manusianya paling buruk dan paling jelek akibat kegelapan spiritual. Keempat Yuga dimaksud adalah:

Satya-Yuga

Treta-Yuga

Dvapara-Yuga, dan

Kali-Yuga.
Adapun ciri-ciri setiap Yuga dapat dilihat dari prinsip-prinsip dharma yang semakim merosot, suasana kehidupan manusia yang semakim jelek dan kegiatan penduduk dunia yang semakim korup.Sementara itu, prinsip-prinsip adharma semakim berkembang subur dan akhirnya merajalela di masyarakat manusia seraya melenyapkan prinsip-prinsip dharma.

Ciri-ciri setiap Yuga dapat diringkas sebagai berikut;





Menurut Bhagavata Purana 12.3.27-30, segala kegiatan di alam material ini terjadi karena interaksi Tri Guna, tiga sifat alam material yaitu: sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan). Ia (Tri-Guna) menyelimuti segala makhluk di alam material. Dan ketiga unsurnya itu berinteraksi karena dipicu oleh sang waktu, tenaga pengendali tak berwujud Sri Krishna. Yuga sebagai pencerminan ketiga sifat alam material tersebut dapat diringkas sebagai berikut.



Dari segi kenyamanan hidup, keempat Yuga tersebut di ibaratkan sebagai musim yang berbeda-beda. Dari segi kualitas kehidupan, keempat Yuga tersebut di ibaratkan sebagai logam yang berbeda-beda. Dari segi spiritual, keempat Yuga tersebut di-ibratkan sebagai kegiatan sang manusia yang berbeda-beda. Sebutan Yuga yang berbeda-beda itu dapat diringkas sebagai berikut.



Berdasarkan penelitian seksama terhadap Jyotir-Veda (ilmu Astronomi Veda), para akhli (sarjana tradisional Veda) menyatakan bahwa Kali-Yuga mulai pada tanggal 18 Pebruari 3102 SM ketika Raja Pariksit naik tahta Kerajaan Hastinapura. Dikatakan bahwa pada hari itu ke 7 (tujuh) planet termasuk Bulan dan Matahari tidak dapat dilihat dari Bumi, sebab mereka berjejer lurus satu arah dibalik Bumi. Sementara itu, planet Rahu yang tidak bisa dilihat mata telanjang, tepat berada diatas Bumi di langit yang gelap gulita. Oleh karena tahun Masehi telah berlangsung selama 2006 tahun, maka pernyataan bahwa Kali-Yuga mulai sekitar 5.100 tahun yang lalu diakui sebagai kebenaran oleh para penganut ajaran Veda.

Diceritrakan bahwa Raja Pariksit bertemu kepribadian Kali-Yuga dalam wujud seorang sudra berkulit hitam dan berpakaian seperti Raja di tepi sungai Saraswati ketika beliau memeriksa wilayah Kerajaannya. Si sudra sedang menyiksa sapi jantan (perlambang dharma) dan sapi betina (perlambang Bumi) dengan gada. Karena mohon maaf atas perbuatannya yang biadab, Raja Pariksit tidak membunuh si sudra. Beliau mengusir si sudra keluar wilayah Kerajaannya dan memperkenankan dia tinggal di 4 (empat) tempat yaitu:

Rumah Potong Hewan

Tempat pelacuran

Tempat perjudian, dan

Tempat dimana emas disimpan.
Veda menyatakan bahwa Bumi diliputi Kali-Yuga setelah Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa , Krishna kembali ke tempat tinggalnya Goloka-dhama di alam rohani. Dikatakan bahwa begitu Kali-Yuga memasuki Bumi, maka pape yad ramate janah, manusia mulai bersuka-ria dalam beraneka-macam kegiatan berdosa (Bhagavata Purana 12.2.29). Tetapi selama Sri Krishna masih menginjakkan kaki-Nya di Bumi, tavat kalir vai prthivim parakrantun na casakat, selama itu pula Kali-Yuga tidak berdaya menguasai Bumi (Bhagavata Purana 12.2.30).

Bhagavata Purana 12.2.31 menyatakan bahwa Kali-Yuga berlangsung selama dvadasabda satatmakah, dua abad deva, atau 1.200 tahun deva. Menurut tahun manusia, Kali-Yuga berlangsung selama 1.200 x 360 = 432.000 tahun (1 hari deva = 1 tahun manusia). Dari jumlah ini, 5.100 tahun telah berlalu, sehingga Kali-Yuga punya jangka waktu berlangsung yang masih lama yaitu 426.900 tahun manusia.

Dikatakan lebih lanjut oleh Veda bahwa Kali-Yuga mulai mencengkram penduduk Bumi dengan kekuatannya penuh ketika kumpulan bintang (planet) Sapta-Rishi bergerak dari garis edar Bulan yang di-sebut Magha ke garis edar Bulan yang disebut Purvasadha yaitu ketika Raja Nanda dan dinastinya mulai memerintah India (Bhagavata Purana 12.2.32). Itu terjadi sekitar 1977 tahun SM (Sebelum Masehi).

Kali-Yuga sebagai jaman kemerosotan akhlak dan moral ditunjukkan oleh pernyataan-pernyataan Veda berikut.

Veda menyatakan,”Sa kalir tamasa smrtah, Kali-Yuga disebut jaman tamas, kegelapan/kebodohan” (Bhagavata Purana 12.3.30). Tamas (kegelapan/kebodohan) adalah salah satu unsur Tri-Guna, tiga sifat alam material yaitu sattvam (kebaikan), rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan).

Mengenai sifat alam tamas ini, Veda menjelaskan sebagai berikut, “Sifat alam tamas ini menyebabkan manusia mengkhayal, sehingga manusia menjadi berpikir tidak waras, malas dibidadang kerohanian dan banyak tidur”. Selanjutnya dikatakan,”Adharmam dharman iti ya manyate tamasavrta, diliputi sifat tamas, manusia menganggap yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar, sehingga sarvarthan viparitams ca, segala kegiatannya menuju kearah sesat” (Bhagavad Gita 18.32).

Penjelasan Veda lebih lanjut adalah sebagai berikut:

Dalam masa Kali-Yuga, manusia cendrung semakim rakus, berprilaku jahat (korup) dan tidak mengenal belas-kasihan. Mereka bertengkar satu dengan yang lain tanpa alasan benar. Mereka bernasib malang, diliputi beraneka-macam keinginan material dan sudra-dasottarah prajah, mayoritas tergolong sudra dan manusia tidak beradab (Bhagavata Purana 12.3.25).

Kegiatan tipu-menipu dan berbohong, malas dibidang kerohanian, banyak tidur dan tindak kekerasan, kecemasan, kesedihan, kebingungan, ketakutan dan kemiskinan merajalela (Bhagavata Purana 12.3.30).

Karena fakta-fakta tersebut, maka Kali-Yuga sering disebut sebagai jaman kemerosotan akhlak dan moral, jaman perselisihan dan pertengkaran, jaman kepalsuan, jaman edan, jaman kekalutan, jaman kemunafikan, jaman penderitaan dan kesengsaraan.
Maha Rishi Sukadeva Goshwami menjelaskan 24 ciri Kali-Yuga kepada Raja Pariksit, yaitu;

Dharma merosot dan Adharma berkembang subur.

Kualitas, moral dan hidup manusia merosot.

Manusia bertabiat Asurik (jahat).

Manusia munafik dan curang.

Raja, kepala da pejabat negara bermoral buruk dan rendah.

Kekayaan material dan keniknatan indriyawi menjadi tujuan hidup.

Hukum dan keadilan ditentukan oleh kekuasaan.

Perkawinan berlangsung karena daya tarik material dan sex berdasarkan prinsip suka sama suka.

Segala urusan dan hubungan bisnis berlandaskan tipu-muslihat.

Para brahmana sibuk dengan urusan mengenyangkan perut dan memuaskan kemaluan.

Aturan hidup varna-asrama dharma dicampakkan.

Manusia selalu berpikir keliru.

Kekuasaan dicapai melalui kekuatan.

Rakyat menderita karena bencana alam, kelaparan, beban pajak, penyakit dan kecemasan.

Wanita hidup bebas dan tidak suci.

Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik.

Kota-kota dikuasai para bandit.

Sapi dibunuh untuk makanan.

Majikan dan pelayan saling tidak setia.

Laki-laki dikendalikan wanita.

Orang-orang sudra menipu melalui praktek kerohanian.

Manusia menjadi amat individualistik.

Manusia dan alam terkena polusi, dan

Manusia melalaikan Tuhan karena berwatak atheistik.
Berikut diuraikan secara ringkas setiap ciri Kali-Yuga berdasarka sloka-sloka Veda.

Dharma merosot dan adharma berkembang

Tatas canudinam dharmah satyam saucam ksama daya kalena balina nanksyati, dharma (agama) beserta ke-empat prinsipnya yaitu satyam (kejujuran), saucam (kesucian diri), ksama (kesabaran) dan daya (kasih-sayang) merosot dari hari ke hari karena pengaruh buruk Kali-Yuga (Bhagavata Purana 12.2.1).

Yada mayanrtam tandra nidra himsa visadanam sa kalir tamasa smrtah, ketika kegiatan tipu-menipu (maya), bohong-membohongi (anrta), kemalasan spiritual (tandra), ketidak-insyafan pada diri (nidra), tindak kekerasan (himsa) dan kecenasan (visadanam) merajalela di masyarakat dunia, maka masa itu disebut Kali-Yuga, jaman kegelapan spiritual (Bhagavata Purana 12.3.30).

Kualitas, moral dan hidup manusia merosot

Prayenalpayusah sabhya kalau asmin yuge janah mandah sumandaya-amatayo manda bhagya hy upadrutah, manusia Kali-Yuga pendek umur, malas dibidang kerohanian, malang, hidup sesat dan selalu cemas (Bhagavata Purana 1.1.10).

Kalena balino rajan nanksyati ayuh balam smrtih, O sang Raja, usia, kekuatan pisik serta ingatan manusia merosot terus karena pengaruh buruk Kali-Yuga (Bhagavata Purana 12.2.1).

Ksiyamanesu dehesu dehinam kali dosatah, badan jasmani (pisik) sang manusia akan semakim mengecil karena pengaruh buruk Kali-Yuga (Bhagavata Purana 12.2.12).

Durbhaga bhuri-tarsah ca sudra dasottarah prajah, manusia Kali-Yuga bernasib malang, diliputi beraneka macam keingianan material dan mayoritas ter-golong sudra dan orang-orang tidak beradab (Bhagavata Purana 12.3.25).

Tasmat ksudra-drso martyah ksudra bhagya mahasanah kamino vitahinas ca, karena pengaruh buruk Kali-Yuga, manusia jadi berpandangan pendek, bernasib malang, rakus makan, penuh nafsu dan hidup miskin (Bhagavata Purana 12.3.31).

Anapady api mamsyante vartam sadhu jugupsitam, meskipun tidak dalam keadaan darurat/terdesak, manusia Kali-Yuga menganggap pekerjaan rendah/hina apapun adalah baik (Bhagavata Purana 12.3.35).

Kalau kakinike vigrhya tyakta-sauhrdah tyaksyanti ca priyan pranan hanisyanti svakan api, pada jaman Kali orang-orang saling bermusuhan satu dengan yang lain karena masalah kecil yang tidak berarti. Begitulah, dengan melupakan segala hubungan baik,mereka siap mengorbankan nyawa dan bahkan mau membunuh sanak-keluarga sendiri (Bhagavata Purana 12.3.41).

Manusia bertabiat asurik (jahat)

Tasmin lubdha duracara nirdayah suska-vairinah, (pada jaman Kali) manusia jadi serakah, berwatak jahat (korup) dan tidak mengenal belas-kasihan. Mereka bertengkar satu dengan yang lain tanpa alasan benar (Bhagavata Purana 12.3.25).

Manusia munafik dan curang

Vipratve sutram eva hi, seseorang disebut brahmana hanya karena dia memakai tali suci (Bhagavata Purana 12.2.3).

Pandita capalam vacah, orang yang amat pintar berkatakata, dianggap sarjana terpelajar (Bhagavata Purana 12.2.4).

Sadhutve damba eva tu, kemunafikan dianggap kebajikan (Bhagavata Purana 12.2.5).

Satyatve dharstyam eva hi, dia yang punya keberanian bicara dan bertindak, dianggap orang benar (Bhagavata Purana 12.2.6).

Yaso’rthe dharma sevanam, kegiatan keagamaan dilaksanakan semata-mata untuk memperoleh ketenaran/kemasyuran (Bhagavata Purana 12.2.6).

Evam prajabhir dustabhir akirne ksiti mandale, Bumi dipenuhi oleh penduduk berwatak curang (Bhagavata Purana 12.2.7).

Dharmam vaksyanty adharma-jna adhiruhyottamasanam, orang yang tidak tahu sedikitpun ajaran agama (dharma) duduk di kursi tinggi dan ber-pidato tentang prinsip-prinsip dharma (Bhagavata Purana 12.3.38).

Raja, kepala dan pejabat negara berwatak rendah/buruk/korup

Mleccha-prayas ca bhu-bhrtah ete’dharmanrta parah phalgu dasa tivra manyawah, hampir semua Raja/Kepala/Pejabat negara, adalah mleccha,orang-orang tidak beradab. Mereka serakah, berwatak keras dan pemarah, mengabdi pada kepalsuan dan kebatilan (Bhagavata Purana 12.1.38).

Prajas te bhaksayisyanti mleccha rajanya rupinah, orang-orang mleccha dalam wujud para Raja/Kepala/Pejabat negara hanya menyebabkan rakyat menderita belaka (Bhagavata Purana 12.1.40).

Praja hi lubdhai rajanyair nirghrnair dasyu-dharmabhih, rakyat diperintah oleh Raja/Kepala/Pejbat negera yang prilakunya tidak berbeda dari pada prilaku para pencuri (Bhagavata Purana 12.2.8).

Rajanas ca praja-bhaksah, para Raja/Kepala/Pejabat negara kerjanya hanya memeras/menindas rakyat belaka (Bhagavata Purana 12.3.32).

Kekayaan material dan kenikmatan indriyawi menjadi tujuan hidup

Vittam eva kalau nrnam janmacara gunodayah, (pada jaman Kali) kekayaan material dijadikan petunjuk kelahiran, prilaku dan sifat-sifat baik seseorang (Bhagavata Purana 12.2.2).

Avrtya nyaya daurbalyam, orang miskin diperlakukan secara tidak adil (Bhagavata Purana 12.2.4).

Anadhyata ivasadhutve, seseorang dianggap hina jikalau dia miskin (Bhagavata Purana 12.2.5).

Udaram bharata svarthah, mengenyangkan perut menjadi tujuan hidup manusia (Bhagavata Purana 12.2.6).

Ksudrah sisnodaram svarthah, manusia hanya perduli pada ikhtiar memuaskan perut dan kemaluan (Bhagavata Purana 12.3.42).

Keadilan ditentukan oleh kekuasaan

Dharma nyaya vyavasthayam karanam balam eva hi, hukum dan keadilan ditetapkan oleh kehendak orang yang berkuasa (Bhagavata Purana 12.2.2).

Perkawinan berlangsung karena daya tarik material dan sex berdasarkan prinsip suka sama suka

Dampatye’ bhirucir hetur, orang laki dan wanita kawin semata-mata karena daya tarik pisik yaitu ketampanan/kecantikan, kekayaan dan kedudukan material (Bhagavata Purana 12.2.3).

Stritve pumstve ca hi ratir, seseorang dikatakan wanita atau lelaki sejati bila dia secara seksual berguna (Bhagavata Purana 12.2.3).

Svikara eva codvahe, perkawinan terlaksana berdasarkan kesepkatan lisan belaka (Bhagavata Purana 12.2.5).

Segala urusan dan hubungan bisnis berlandaskan tipu muslihat

Mayaiva vyavaharike, keberhasilan dalam ber-bisnis ditentukan oleh akhlian tipu-menipu (Bhagavata Purana 12.2.3).

Panayisyanti vai ksudrah kiratah kuta-karinah, para pelaku bisnis berniaga secara licik dan memperoleh untung dengan cara menipu (Bhagavata Purana 12.3.25).

Para brahmana sibuk dalam urusan memuaskan perut dan kemaluan

Sisnodara para dvijah, mereka yang disebut para brahmana hanya sibuk dalam urusan memuaskan perut dan kemaluan (Bhagavata Purana 12.2.32).

Aturan hidup lembaga varna-asrama dharma dicampakkan

Lingam evasrama kyatau anyonyapatti karanam, tingkat kehidupan spiritual (asrama) seseorang ditentukan ber dasarkan ciri/simbul luar belaka. Dan berdasarkan ciri/simbul itu,seseorang beralih dari satu tingkat asrama ke tingkat asrama berikutnya (Bhagavata Purana 12.2.4).

Avrato bhatavo’sauca bhiksavas ca kutumbinah tapasvino grama vasa nyasi’ tyartha lolupah, para brahmacari tidak melaksanakan vrata, pantangan-pantangan hidup dan hidup kotor/berdosa. Para grhastha mencari nafkah dengan cara meminta-minta/mengemis. Para vanaprashtha tinggal di desa, dan para sannyasi rakus pada kekayaan material dunia fana (Bhagavata Purana 12.2.33).

Manusia selalu berpikir keliru

Dure vary ayanam tirtham, tempat suci (tirtha) dimengerti sebagai suatu waduk kecil di tempat nan jauh (Bhagavata Purana 12.2.6).

Lavyanam kesa dharanam, kecantikan/ketampanan dimengerti bergantung pada model rambut seseorang (Bhagavata Purana 12.2.6).

Daksyam kutumba bharanam, orang yang mampu menghidupi keluarga disebut akhli (Bhagavata Purana 12.2.6).

Snanam eva prasadanam, seseorang merasa dirinya bersih (suci) hanya karena sudah mandi (Bhagavata Purana 12.2.5).

Kekuasaan dicapai melalui kekuatan

Brahma vit ksatra sudranam yo bali bhavita nrpah,siapapun diantara ke-empat golongan sosial (varna) manusia di masyarakat yaitu orang brahmana, kshatriya, vaisya dan sudra yang mampu memperlihatkan diri sebagai yang paling kuat, maka dia menjadi Raja/Kepala/Pemimpin negara (Bhagavata Purana 12.2.7).

Rakyat menderita karena bencana alam, kelaparan, beban pajak, perang, penyakita dan kecemasan

Anavrstya vinaksyanti durbhiksa kara piditah, rakyat menderita sekali karena kemarau berkepanjangan, kelaparan meluas dan beban pajak amat memberatkan (Bhagavata Purana 12.2.9).

Dikatakan bahwa karena tidak mampu membayar pajak, bukan saja rumah dan harta miliknya disita, tetapi juga anak dan istri seseorang diambil dan dijadikan budak oleh sang Penguasa untuk melunasi tunggakan pajak. Dalam keadaan demikian dikatakan,”Acchina dara dravina yasyanti giri kananam, dengan kehilangan istri dan anak, orang-orang akan lari menyelamatkan diri ke hutan di gunung-gunung” (Bhagavata Purana 12.2.10).

Sita vatapata pravrd himair anyonyatah prajah ksut-trdbhyam vyadhibhir caiva sabta pasyante ca cintaya, rakyat amat menderita karena udara sangat dingin, angin berhembus amat kencang, panas matahari menyengat, hujan amat deras dan salju amat tebal. Mereka juga tambah sengsara karena perang, kelaparan, dahaga, penyakit dan kecemasan tiada henti (Bhagavata Purana 12.2.10).

Soka mohau bhayam dainyam, manusia (jaman Kali) selalu sedih, mengkhayal/bingung, takut dan hidup miskin (Bhagavata Purana 12.2.30).

Nityam udvigna manaso durbhiksa kara karsitah niranne bhutale rajan anavrsti bhayaturah vaso’ nna pana sayana vyavaya snana bhusanaih hinah pisace sandrsa bhavisyanti kalau prajah, pada jaman Kali pikiran manusia selalu gelisah. Tubuh mereka kurus karena kelaparan dan beban pajak amat berat, dan mereka selalu dihantui rasa takut pada kemarau panjang. Mereka tidak cukup pakaian, tidak cukup makan dan minum, tidak cukup istirahat, tidak menikmati hubungan badan (sex) teratur, tidak pula mandi teratur dan tidak ada perhiasan menghias tubuhnya. Mereka akhirnya kelihatan seperti hantu menakutkan (Bhagavata Purana 12.3.39 – 40).

Wanita hidup bebas dan tidak suci

Svairinyas ca striyo’ satih, para wanita hidup tidak suci dan bebas bepergian kemana saja dan ber-gaul dengan siapa saja (Bhagavata Purana 12.3.31).

Gata-hriyah sasvat katuka-bhasinyas caurya mayaru sahasah, para wanita kehilangan rasa malunya, berbicara kasar, berkelakuan seperti pencuri, suka menipu dan selalu menentang (Bhagavata Purana 12.3.34).

Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik

Veda pasandi dusitah, kitab suci Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik (Bhagavata Purana 12.3.32).

Kota-kota dikuasai para bandit

Dasyutkrsta janapada, kota-kota dikuasai oleh para bandit (Bhagavata Purana 12.3.32).

Sapi dibunuh untuk makanan

Gas capayasvinih, sapi dibunuh untuk makanan jikalau tidak lagi menghasilkan susu (Bhagavata Purana 12.3.36).

Majikan dan pelayan saling tidak setia

Patim tyaksyanti nirdravyam bhrtya apy akhilottamam bhrtyam vipannam patayah kaulam, pelayan meninggalkan si majikan yang telah kehilangan kekayaan, meskipun sang majikan adalah orang suci denga sifat-sifat tauladan. Sebaliknya, majikan memecat pelayan yang tidak lagi mampu bekerja, meskipun si pelayan telah mengabdi kepada keluarga si majikan selama puluhan tahun (Bhagavata Purana 12.3.36).

Laki-laki dikendalikan wanita

Pitr-bhratr suhrj-jnatim hitvasaurata sauhrdah hanandr-syala samvada strainah kalau narah, pada jaman Kali, laki-laki bernasib malang dikendalikan wanita. Mereka tidak perduli kepada ayah, saudara, sanak keluarga dan sahabat. Sebaliknya, mereka intim dengan saudara lelaki dan saudara perempuan sang istri. Begitulah, pola persahabatan mereka semata-mata berlandaskan pada hubungan dengan sang istri (Bhagavata Purana 12.3.37).

Orang sudra menipu melalui praktek kerohanian

Sudrah pratigraha hisyanti tapo veso pajivinah, orang sudra menerima amal atas nama Tuhan dan mencari nafkah dengan berlagak seperti pertapa dengan berpakaian sannyasi (Bhagavata Purana 12.3.38).

Manusia menjadi amat individualistik

Na raksisyanti manusah sthavirau pitarau api putran bharyam ca kula jam, para lelaki tidak lagi melindungi orang-tuanya yang lanjut usia. anak-anaknya dan juga istrinya (Bhagavata Purana 12.3.42). Dengan kata lain, para lelaki hanya perduli pada keselamatan dirinya sendiri.

Alam dan manusia terkena polusi

Pumsam kali-krtam dosan dravya desatma sambhavam, pada jaman Kali barang-barang, tempat-tempat dan bahkan orang-orang pribadi terkena polusi (Bhagavata Purana 12.3.45). Dikatakan bahwa polusi yang semakim mengganas menyebabkan krsya-kayah, pisik sang manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan pohon semakim mengecil.

Ksiyamanesu dehesu dehinam kali dosatah, karena akibat buruk Kali-Yuga berupa polusi (dosah), badan jasmani segala makhluk akan menjadi semakim kecil (Bhagavata Purana 12.2.12).

Cchaga prayesu dhenusu, sapi akan menjadi sebesar kambing (Bhagavata Purana 12.2.14).

Anu prayesu osadhisu sami prayesu sthanusu, tanaman dan tumbuhan akan menjadi begitu kecil, dan pohon-pohon akan nampak seperti pohon sami kerdil (Bhagavata Purana 12.2.15).

Manusia melalaikan tuhan karena berwatak atheistik

Kalau na rajan jagatam param gurun tri-loka nathanatha pada pankajam prayena martya bhagavantam acyutam yaksyanti pasanda vibhinna cetasah, O sang Raja, pada jaman Kali kecerdasan manusia digelapkan oleh paham atheistik, dan mereka tidak menghaturkan yajna kepada Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Acyuta yang merupakan guru seluruh alam semesta. Meskipun para kepribadian mulia yang dikuasakan mengendalikan seluruh Tri-loka sujud pada kaki padma Beliau, tetapi manusia Kali-Yuga yang berpikiran picik dan hidup merana tidak mau berbuat begitu (Bhagavata Purana 12.3.43).

Yan namadheyam mriyamana aturah patam skhalam va vivaso grnam puman vimukta-kamargala uttamam gatim prapnoti yaksyanti na tam kalau janan, diliputi rasa takut pada saat ajal menjelang, sang manusia pingsan diatas tempat tidurnya. Walaupun suaranya sudah tersendat-sendat dan dia sendiri sulit menyadari apa yang dirinya sedang katakan, tetapi jika dia mau mengucapkan nama suci Tuhan Yang Maha Esa, maka dia bisa melepaskan diri dari segala reaksi kegiatan pamerihnya yang berdosa dan mencapai alam rohani. Tetapi manusia Kali-Yuga ini tidak mau memuja Tuhan dengan cara demikian (Bhagavata Purana 12.3.44).

Kondisi hidup manusia menjelang kali-yuga berakhir

Ksiyamanesu dehesu dehinam kali dosatah, karena akibat buruk Kali-Yuga berupa polusi (dosah), badan jasmani segala makhluk akan menjadi semakim mengecil (Bhagavata Purana 12.2.12).

Varnasrama vatam dharme naste veda pathe nrnam, prinsip-prinsip dharma para penganut lembaga Varna-Asrama lenyap, dan jalan kerohanian Veda sama sekali di-lupakan di masyarakat manusia (Bhagavata Purana 12.2.12).

Pasanda pracure dharme dasyu prayesu rajasu, apa yang disebut dharma (agama) adalah doktrin atheistik dan para Raja/Kepala/Pejabat negara semuanya berwatak pencuri (Bhagavata Purana 12.2.13).

Cauryanrta-vrtha himsa nanavrttisu vai nrsu, orang-orang cari nafkah dengan menjadi penipu, pencuri, bandit, jagal atau pelaku tindak kekerasan lain (Bhagavata Purana 12.2.13).

Sudra prayenu varnesu cchaga prayesu dhenusu, golongan sosial (varna) di masyarakat hampir semuanya merosot menjadi sudra, dan sapi menjadi sebesar kambing (Bhagavata Purana 12.2.14).

Grha prayesu agramesu yauna prayesu bandhusu, asrama-asrama kerohanian menjadi seperti rumah orang-orang meterialistik, dan hubungan keluarga menjadi terbatas sampai pada ikatan perkawinan saja (Bhagavata Purana 12.2.14).

Anu prayesu osadhisu sami prayesu sthanusu, tanaman dan tumbuhan menjadi berukuran kecil sekali, dan pohon-pohon nampak seperti pohon sami kerdil (Bhagavata Purana 12.2.15).

Vidyut prayesu meghesu sunya prayesu sadmasu, awan dan mendu ng dilangit penuh dengan kilatan cahaya petir, dan rumah-rumah penduduk hampa kegiatan rohani (Bhagavata Purana 12.2.15).

Tada niranne hy anyonyam bhaksyamanah ksudharditah, ketika Kali-Yuga menjelang berakhir, penduduk yang kelaparan (akibat kekeringan yang berkepanjangan), saling bunuh dan saling makan satu dengan yang lain (Bhagavata Purana 12.4.7).

Ittam kalau gata praye janesu khara dharmesu, begitulah ketika Kali-Yuga menjelang berakhir, hampir semua manusia menjadi seperti keledai (yaitu bodoh, malang dan menderita sekali) (Bhagavata Purana 12.2.16).

Singkatnya, kelak ketika Kali-Yuga menjelang berakhir, manusia akan hidup seperti binatang saja. Mereka disebut dvi-pada-pasuh, binatang berkaki dua. Dengan berpegang pada adharma sebagai pedoman hidupnya, manusia tidak lagi mengenal etika, sopan-santun, tata-susila, moralitas atau budi pekerti. Dikatakan,”Sva vid varahostra kharaih samsthutah purusah pasuh, manusia hidup seperti binatang dan dari antara mereka sendiri, mereka pilih yang (secara pisik) paling kuat jadi pemimpin” (Bhagavata Purana 2.3.19). Maka praktis manusia terbenam dalam samudra derita kehidupan material biadab dan berdosa.

KEBANGKITAN DHARMA DI JAMAN KALI YUGA

Bhagavata Purana 12.3.30 menegaskan bahwa pada Kali Yuga kebodohan dan kegelapan akan menyelimuti kehidupan di alam material ini. Sebagian besar manusia akan berpaling dari ajaran Dharma, kejahatan merajarela, tipu menipu, sikap angkuh dan faham materialistik mendominasi.

Brahma-vaivarta Purana memaparkan percakapan antara Sri Krishna dengan Dewi Gangga prihal apa yang akan terjadi dengan pengamalan prinsip-prinsip Veda di jaman Kali Yuga sebelum Sri Krishna mengakhiri lila-Nya di Bumi ini.

Pada Brahma-vaivarta Purana sloka 49 Dewi Gangga bertanya kepada Sri Krishna; “he natha ramanashreshtha yasi golokamuttamam asmakam ka gatishcatra bhavishyati kalau yuge, Wahai Pelindung, Penikmat Agung, setelah keberangkatan Anda ke tempat tinggal anda yang sempurna, Goloka, kemudian apa yang akan terjadi di jaman Kali ini?”

Pada Brahma-vaivarta Purana sloka 50 Sri Krishna bersabda: “kaleh pancasahasrani varshani tishtha bhutale papani papino yani tubhyam dasyanti snanatah, 5.000 tahun pertama jaman Kali, orang-orang akan sangat berdosa dan para pendosa akan mengumpulkan dosanya pada dirimu [sungai Gangga ] dengan cara mandi”. Terjadi degradasi moral dan spiritual yang sangat tajam pada awal jaman Kali. Ajaran Veda hanya dijadikan tameng dalam kegiatan materialistik. Upacara-upacara keagamaan kehilangan empat pondasi Dharma yang utama, yaitu kejujuran, kesederhanaan, kesucian dan cinta kasih. Jumlah pengikut ajaran Veda merosot tajam dan terjerat dalam faham keliru. Sebagian lagi hanya mengaku sebagai pengikut Veda tanpa melakukan prinsip-prinsip yang semestinya. Sebagian besar orang sibuk menjadikan upacara dan ritual keagamaan sebagai media demi kesejahtraan material. Menjadikan materi sebagai sarana empuk menyebarkan faham ketuhanan palsu. Pembunuhan dan pembantaian binatang yang hanya atas dasar nafsu dimana-mana, sex bebas, prostitusi dan perjudian merajarela. Namun atas karunia yang tiada sebabnya dari Tuhan Yang Maha Esa, melalui media air suci sungai Gangga, orang-orang berdosa yang mandi di sana akan berangsung-angsur diangkat menuju pada kesucian.

Dalam sloka berikutnya Sri Krishna bersabda; “man-mantropasakasparshad bhasmibhutani tatkshanat bhavishyanti darsanacca snanadeva hi jahnavi, Setelah itu, dengan penglihatan dan sentuhan menyembah-penyembah-Ku dengan mantra-Ku, semua dosa mereka akan dibakar” (Brahma-vaivarta Purana 51).

Berdasarkan sloka 50 dan 51 ini dapat dikatakan bahwa setelah periode 5.000 tahun Kali Yuga, maka akan mulai muncul para penyembah-penyembah Tuhan yang murni yang dengan mantra dari Tuhan akan membakar dosa-dosa orang-orang yang bergaul dengan mereka (sadhu-sanga, atau sat-sanga). Dengan pergaulan dengan penyembah-penyembah (bhakta) Tuhan yang murni, seseorang akan secara berlahan diangkat dari kehidupan yang berdosa dan mencapai kesucian. Kata “man-mantropasaka” mengacu kepada seseorang yang melakukan “upasana” atau pemujaan terhadap Tuhan dengan melakukan “man-mantra”, atau mengucapkan Mantra dari Tuhan.

“harernamani yatraiva puranani bhavanti hi tatra gatva savadhanam abhih sarddham ca shroshyasi, Akan terdapat orang-orang yang mengucapkan nama suci Sri Hari dan membaca Purana di berbagai tempat, dan didengar dengan penuh perhatian” (Brahma-vaivarta Purana 52).

“man-mantra” pada sloka 51 dan dengan keterangan sloka 52 mengacu kepada Maha Mantra yang disebutkan dalam Brhan-Naradiya Purana 38.126; “harer nama harer nama harer namaiva kevalam kalau nastyeva nastyeva nastyeva gatir anyata, Pada jaman Kali, tidak ada cara lain, tidak ada cara lain, tidak ada cara lain untuk mencapai kemajuan spiritual selain dari pada mengucapkan /mengumandangkan /mengidungkan /menyanyikan nama suci Sri Hari”. Dan dalam Kalisantarana Upanisad disebutkan mantra yang cocok pada jaman Kali Yuga ini; “Hare Krishna Hare Krishna, Krishna Krishna Hare Hare Hare Rama Hare Rama, Rama Rama Hare Hare”.

Lebih lanjut tentang nama suci Tuhan dapat dibaca dalam artikel “Hari-Nama Sankirtana”.

“purana shravanaccaiva harernamanukirtanat bhasmibhutani papani brahma-hatyadikani ca, Reaksi berdosa termasuk pembunuhan seorang Brahmana dapat diatasi dengan mendengarkan Purana dan mengucapkan nama-nama suci Sri Hari sebagaimana dilakukan oleh para penyembahnya” (Brahma-vaivarta Purana 53). “bhasmibhutani tanyeva vaishnavalinganena ca trinani shushkakashthani dahanti pavako yatha, Sama seperti rumput kering dibakar oleh api, para penyembah-Ku dapat membakar segala dosa” (Brahma-vaivarta Purana 54). “tathapi vaishnava loke papani papinamapi prithivyam yani tirthani punyanyapi ca jahnavi, O Gangga , seluruh planet akan menjadi tempat ziarah suci oleh kehadiran penyembah-Ku, mekipun tempat itu sebelumnya penuh dengan dosa” (Brahma-vaivarta Purana 55). “madbhaktanam sharireshu santi puteshu samtatam madbhaktapadarajasa sadyah puta vasundhara, di dalam badan para penyembah-Ku terdapat kekekalan, Ibu Pertiwi akan menjadi suci oleh debu kaki para penyembah-Ku” (Brahma-vaivarta Purana 56). “sadyah putani tirthani sadyah putam jagattatha manmantropasaka vipra ye maducchishtabhojinah, Antara tempat ziarah yang suci dan seluruh dunia akan menjadi sama, seluruh penyembah-penyembah-Ku yang cerdas yang mengucapkan mantra-Ku (man-mantro) dan memakan sisa persembahan (mad- ucchishtabhojinah) akan menyucikan segalanya” (Brahma-vaivarta Purana 57). “mameva nityam dhyayante te mat pranadhikah priyah tadupasparshamatren puto vayushca pavakah, mereka lebih sayang kepada-Ku dari pada kehidupannya. Yang selalu bermeditasi hanya kepada-Ku, udara dan api menjadi murni meskipun tanpa sentuhan langsungnya” (Brahma-vaivarta Purana 58). “kaler dasha-sahasrani madbhaktah santi bhu-tale ekavarna bhavishyanti madbhakteshu gateshu ca, Selama 10.000 tahun pada jaman Kali ini, seluruh penyembah-Ku akan memenuhi semua planet, setelah kepergian penyembah-penyembah-Ku hanya akan menyisahkan satu varna” (Brahma-vaivarta Purana 59). “madbhaktashunya prithivi kaligrasta bhavishyati etasminnantare tatra krishnadehadvinirgatah, tanpa mengikuti penyembah-Ku, Bumi ini akan terbelenggu oleh pengaruh buruk kali-Yuga, Krishna mengatakan hal ini pada saat kepergian-Nya”.

Kebangkitan ajaran Dharma (Veda) dan khususnya gerakan sankirtana (pengucapan nama-nama suci Tuhan) terjadi setelah 5000 tahun kali yuga dan akan mencapai puncak keemasannya setelah 10.000 tahun. Ciri-ciri kebangkian ini sudah bisa kita saksikan saat ini, dimana semakin banyak orang-orang terpelajar dari dunia barat yang mengikuti prinsip-prinsip ajaran Veda (lihat: Wikipedia.org). Di nusantara sendiri juga terdapat ramalan Sabdo Palon dan Jayabaya yang menyatakan kebangkitan ajaran Hindu/Veda setelah 500-an tahun runtuh Majapahit di Nusanara. Para penekun tenaga dalam Reiki dan Sinci juga percaya bahwa pada jaman ini adalah adalah dimulainya jaman keemasan bagi para spiritualis.

VASTU SASTRA

Hampir setiap orang sudah mengenal istilah Feng Shui, yaitu aturan-aturan tata letak bangunan yang dipercaya berasal dari Cina. Feng Shui memberikan aturan-aturan tentang peletakan pintu utama, kamar, kolam dan pernak-pernik peralatan rumah sehingga dengan menerapkan aturan ini diyakini akan membawa keberuntungan bagi para penghuninya.

Prinsip yang dimiliki oleh Feng Shui ternyata juga terdapat dalam salah satu manuskrip tertua Veda yang disebut sebagai Vastu Sastra (Vaastu). Vastu Sastra adalah turunan dari bagian Catur Veda, yaitu pada Yajur veda yang mempelajari tentang ilmu struktur dan tata bangunan. Terdapat tiga puluh dua manuskrip Vastu sastra yang ditulis oleh Vishwakarama dan juga terdapat sebuah manuskrip utama lainnya yang disebut Mayamata. Manuskrip-manuskrip ini juga dituliskan sejaman dengan pengkondifikasian Veda oleh Maha Rsi Vyasa, yaitu sekitar 6000 tahun yang lalu. Dengan demikian Vastu Sastra pada dasarnya jauh lebih tua dari Feng Shui.

Vastu Sastra diterapkan secara turun-temurun dalam setiap bangunan suci, bangunan publik, rumah dan juga gedung sebagian besar penganut Veda di dunia. Prinsip-prinsip Vastu dapat kita jumpai pada bangunan-bangunan kuil suku Inca dan Maya di Amerika, kuil-kuil di Thailand, Myanmar dan berbagai daerah Asia lainnya. Prinsip-prinsip tata bangunan yang masih hidup di Bali yang diatur dalam Asta Kosala-Kosali juga kemungkinan besar merupakan turunan dari Vastu Sastra. Dengan demikian, apakah Feng Shui adalah turunan dari Vastu Sastra juga?

Hanya saja pada beberapa hal, Vastu dan Feng Shui saling bertolak belakang. Contohnya pada tata ruang perumahan, jika menurut Vastu, rumah yang baik akan menempatkan area terbuka dan lebih rendah pada bagian utara dan timur, hanya menempatkan sumur/tempat air di timur laut, dapur di tenggara dan wc/kamar mandi di barat laut, namun aturan Feng Shui tidak demikian halnya. Menurut Feng Shui, area terbuka sebaiknya di sebelah barat serta bagian utara dan timur adalah bagian yang lebih tinggi sebagai simbol bukit dan gunung.

Menurut A.R.Hari.B.Sc.,B.E, seorang konsultan yang melakukan kajian tentang Vastu dan Feng Shui, ternyata Vastu memperlihatkan perhitungan yang lebih tepat dari pada Feng Shui tata letak ruang terbuka dan ketinggian. Lebih lanjut lagi dia menjelaskan bahwa Feng Shui lebih memberikan manfaat secara individual dari pada secara global sehingga akan sangat tepat jika membangun rumah sesuai dengan Feng Shui dengan memperhatikan waktu kelahiran orang yang akan menempati rumah tersebut. Feng Shui juga lebih memperhatikan aspek-aspek kecil seperti tata letak perabotan, akuarium, lukisan dan sebagainya di dalam rumah. Sementara Vastu berlaku secara lebih global dan tidak terbatas pada bangunan kecil atau yang berbentuk persegi saja, tetapi dapat diterapan dalam berbagai jenis dan aspek bangunan. Penggunaan prinsip-prinsip Feng Shui akan memberikan hasil positif jika digunakan para bangunan yang memiliki nilai perhitungan Vastu yang netral atau positif, tetapi tidak akan berpengaruh signifikan terhadap bangunan yang memang secara Vastu negatif.

Dalam manuskripnya, Vishwakarama menuliskan; “Pengetahuan utuh dan lengkap. ini dapat membawakan kebahagiaan kepada setiap manusia di atas bumi ini. Terdapat empat tipe kebahagiaan yang akan diperoleh dengan penerapan pengetahuan ini, yaitu kebahagiaan dalam harta benda, kebahagiaan hidup, pemenuhan keinginan duniawi, dan anugrah. Dengan pengetahuan dari Tuhan ini, orang akan menjadi penuh dengan rasa bhakti kepada-Nya”.


Apakah pernyataan diatas dan aturan-aturan yang terdapat dari Vastu Sastra dapat dibuktikan secara ilmiah? Tentu, tapi belum semuanya, mengingat beberapa aturan Vastu termasuk kedalam metafisika yang belum dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan ilmiah saat ini.

Salah satu aturan dalam Vastu Sastra menganjurkan agar posisi tempat tidur dengan bagian kepala mengarah ke selatan dan kaki di utara. Vastu Sastra menjelaskan bahwa medan magnet bumi bergerak dari selatan menuju utara (kutub positif magnet bumi terletak di kutub selatan bumi dan kutub negatifnya di kutub utara) dan tubuh manusia juga memiliki medan magnet yang kutub positifnya terletak di kepala dan kutub negatifnya di kaki sehingga dengan tidur dengan posisi kepada menghadap ke selatan, medan magnet tubuh kita yang relatif kecil tidak akan bertentangan dengan medan magnet bumi yang besar.

Saat ini, sains sudah mengakui akan besarnya medan magnet bumi yang fungsinya bukan semata sebagai kompas, tapi juga diindikasikan memiliki pengaruh yang besar bagi mahluk hidup. Burung-burung pengembara seperti flamingo, blibis, camar dan sejenisnya ternyata dapat menjelajahi dunia berkat kemampuannya mengenali arah medan magnet bumi dan menjadikannya alat navigator yang sangat akurat. Hal inilah yang memungkinkan mereka kembali lagi ke tempat yang sama setiap tahunnya.

Saat ini medan magnet juga digunakan untuk terapi, seperti terapi memperlancar peredaran darah, meredakan sakit kepala, pegal dan ganggunan kesehatan lainnya. Jika medan magnet yang kecil dari alat-alat terapi ini saja berguna untuk kesehatan kita, kenapa kita tidak mengindahkan pengaruh medan magnet bumi yang berpengaruh global sebagaimana yang disampaikan Vastu Sastra?

Hal positif yang lain yang dapat diperoleh dengan penerapan Vastu Sastra yang dapat dilihat secara konkrit adalah dalam hal keteraturan tata ruang suatu daerah. Coba saja kita bandingkan lingkungan masyarakat Bali yang masih kuat menerapkan aturan asta kosala-kosali dalam pembangunan rumahnya dengan masyarakat Bali atau pendatang atau daerah lainnya di luar Bali yang sudah tidak peduli dengan prinsip-prinsip asta kosala-kosali. Lingkungan masyarakat yang menerapkan prinsip asta kosala-kosali akan terlihat lebih indah, sehat dan nyaman. Sangat berbeda dengan masyarakat yang tidak mengindahkan aturan aturan itu.

Beberapa prinsip Vastu utama dalam mendirikan bangunan yaitu antara lain;

Bagian utara dan timur dijadikan sebagai ruang terbuka, seperti taman dan pekarangan

Bagian selatan dan barat diajdikan ruang tertutup

Ketinggian lantai atau halaman di bagian utara dan timur lebih rendah

Bagian barat dan selatan lebih tinggi dari lantai di utara dan timur

Tempat penampungan air diletakkan di timur laut

Dapur di tenggara

Tempat tidur di barat dan di selatan

Tempat tidur utama di barat daya

Jika setiap kamar memiliki toilet, sebaiknya di letakkan di timur laut atau barat laut dari kamar tersebut

Tangga rumah diletakkan di bagian sudut tenggara atau barat laut

Wajib terdapat satu pintu di sebelah timur laut

Pintu yang lain dapat diletakkan di arah mana saja, tetapi setidaknya harus pada arah netral

Kemiringan atap harus ke arah utara atau timur

Suatu struktur haruslah uniform pada setiap sisinya atau kalau tidak, bagian barat dan selatan harus lebih berat dari bagian utara dan timur
Bagaimana jika bangunan kita bertentangan dengan prinsip-prinsip Vastu Sastra? Beberapa efek yang mungkin terjadi jika bangunan kita tidak sesuai dengan aturan Vastu yaitu antara lain;

Jika tempat tidur utama terletak di tenggara dan dengan toilet di timur laut maka kemungkinan yang tinggal di kamar tersebut dapat terkena kanker payudara

Jika kamar tidur utama terletak di barat daya dan dengan toilet di barat daya maka dapat mengakibatkan gangguan hati atau kematian

Jika ketinggian di timur laut lebih tinggi dari yang lain maka dapat diserang gangguan hati atau masalah keuangan.

Jika kamar tidur utama di timur laut dan dengan toilet di timur laut maka dapat diserang kanker otak

Jika kamar utama di barat laut dan dengan toilet di timur laut maka dapat mengakibatkan kanker paru-paru

Jika kamar tidur utama di barat dengan dengan toilet di timur laut, maka ada kemungkinan dapat mengakibatkan gangguan pada pencernaan
Meskipun demikian, jika kita memiliki bangunan yang sudah terlanjur tidak sesuai dengan aturan-aturan Vastu, bukan berarti bangunan kita harus dirombak total. Sebagaimana halnya aturan-aturan dalam Feng Shui, Vastu Sastra juga memberikan beberapa metode penetralisir energy negatif, yaitu antara lain dengan meletakkan suatu benda dengan elemen tertentu pada arah yang tepat, melakukan yajna / upacara-upacara tertentu dan dengan memasang Yantra atau sejenis simbol-simbol suci.