Sunday, October 9, 2011

Tuhan, Nama-Mu Siapa?
OPINI | 21 December 2009 | 12:06 727 27 1 dari 2 Kompasianer menilai Bermanfaat
--------------------------------------------------------------------------------




Hidup di masyarakat yang heterogen sangatlah menyenangkan. Memiliki banyak sahabat dari berbagai suku, ras, agama dan golongan memberikan nilai tersendiri pada masing-masing pribadi. Namun harus disadari bahwa tabiat masing-masing pribadi sangatlah berbeda-beda. Sikap dan kejiwaannya sangat dipengaruhi oleh kondisi dimana seseorang dilahirkan, dibesarkan dan dasar keyakinan yang ditanamkan pada dirinya.

Membicarakan masalah keyakinan kadangkala menjadi suatu yang imajiner, yang sangat irasional dan hanya karena masalah keyakinan seseorang dapat melakukan apa saja diluar akal sehat manusia. Kasus-kasus bom bunuh diri dan perang atas nama Tuhan sudah mengorbankan jutaan nyawa dalam sejarah kehidupan manusia.

Sebagai golongan minoritas sering kali saya disuguhi pertanyaan yang sangat menggelitik tetapi juga menarik untuk di bahas. Salah satunya adalah masalah “siapa Tuhanmu?”. Seorang teman kuliah pernah berkata kepada saya; “Kalau Tuhanku kan Allah, Tuhan orang kristen Yesus, Alah Bapa dan Roh Kudus, sementara Tuhan kamu siapa? Terus Dewa favorit kamu yang mana yan?”

Ternyata Tuhan yang selama ini saya pahami sebagai Yang Esa dan Tuhan semua mahluk hidup di alam semesta ini tidak sama dengan Tuhan yang dibayangkan oleh teman saya itu. Apa benar Tuhan kita berbeda-beda?

Menurut Karen Amstrong dalam bukunya “A History of God” menyatakan bahwa asal-usul masing-masing Tuhan dalam agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) berbeda-beda. Yahweh berasal dan ajudan dewa perang, yang kemungkinan berasal dari suku Midian, dan dijadikan satu-satunya Tuhan orang Israel oleh Musa. Jesus salah seorang dari Trinitas, adalah seorang pembaharu agama Yahudi yang diangkat menjadi Tuhan oleh para pendiri Kristen awal. Allah adalah dewa hujan yang setelah digabung dengan dewa-dewa lain orang Arab dijadikan satu-satunya tuhan orang Islam oleh Muhammad.

Karakter masing-masing Tuhan agama Abrahamik tersebut sangat berbeda. Ketiganya memang Tuhan pencemburu, tetapi tingkat cemburu mereka berbeda. Yahweh adalah Tuhan yang paling pencemburu, gampang marah, dan suka menghukum pengikutnya dengan kejam, tetapi juga suka ikut berperang bersama pengikutnya melawan orang-orang lain, seperti orang Mesir, Philistin dan Canaan. Jesus juga Tuhan pencemburu, tapi berpribadi lembut, ia memiliki banyak rasa kasih, tetapi juga mempunyai neraka yang kejam bagi orang-orang yang tidak percaya padanya. Allah lebih dekat karakternya dengan Yahweh, tetapi bila Yahweh tidak memiliki neraka yang kejam, Allah memilikinya. Di samping itu, bila Yahweh menganggap orang-orang Yahudi sebagai bangsa pilihannya, Allah menganggap orang-orang Yahudi adalah musuh yang paling dibencinya.

Apakah pernyataan Karen Amstrong mengenai Tuhan penganut agama Abrahamik adalah berbeda sebagaimana disebutkan dalam bukunya tersebut? Mari kita coba analisis dari masalah wahyu yang diturunkan kepada ketiga agama ini. Agama Yahudi adalah agama yang paling tua dari ke-3 rumpun agama ini, kitab suci-nya adalah Taurat / Torah. Namun demikian sebagaimana pernyataan Yesus dalam di Matius 5:17. Dikatakan: “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya“. Ayat ini menegaskan bahwa Ajaran Kristen diwahyukan kembali untuk melengkapi ajaran yang sebelumnya yang kurang sempurna. Demikian juga Islam lewat Q.S. Al Maidah ayat 3 mengatakan “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhoi Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”. Ayat ini mengklaim bahwa agama Islam adalah ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran agama-agama sebelumnya (Yahudi dan Kristen).

Jika memang Tuhan ke-3 agama ini berbeda, sepertinya masalah ini dapat dimengerti karena satu Tuhan mengoreksi Tuhan yang lainnya. Namun jika kita kembali lagi ke titik pangkal Agama dimana setiap umat agama memuja Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Adil dan berbagai sebutan Tuhan dengan kemahakuasaannya, apakah mungkin posisi “maha/paling” disini dikuasai oleh lebih dari satu entitas (Tuhan)? Tentunya harus ada satu yang laing berkuasa, yang paling sempurna, yang paling adil dan sebagainya.

Namun jika kita mengatakan bahwa Tuhan dalam ajaran Abrahamik ini sejatinya hanya ada satu, maka permasalahannya adalah pada model pewahyuan/penurunan ajaran-ajarannya. Kenapa Tuhan menurunkan ajarannya dalam kondisi tidak sempurna sehingga harus diperbaiki, ditambahkan dan disempurnakan sebagaimana kasus Taurat/Torah yang digenapi dengan kehadiran Yesus dan berikutnya disempurnakan lagi dengan kehadiran Nabi Muhammad? Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna? Kenapa Beliau Yang Maha Sempurna dapat menurunkan kitab suci yang tidak sempurna?

Mungkin permasalahan inilah yang menyebabkan kenapa beberapa teman saya menanyakan pada saya prihal siapa Tuhan saya. Kalau memang benar demikian adanya, saya sebagai pengikut Veda yang berada di luar komunitas agama-agama Abrahamik tentunya dapat memahami pola pikir mereka.

Tapi sebelum kita menyimpulakan bahwa Tuhan itu memang banyak dan mengatakan bahwa masing-masing agama punya Tuhan yang berbeda, mari kita coba untuk menggunakan akal sehat kita terlebih dahulu untuk bertanya pada Tuhan, siapa nama Tuhan yang sebenarnya.

Sekarang kita coba tatap langit dan lihatlah benda yang berpijar dan memberikan penerangan terhadap bumi, yang menyebabkan adanya siang dan malam. Apa nama benda langit tersebut?

Kita sebagai orang Indonesia akan menyebutnya “Matahari”. Bangsa yang menggunakan bahasa Inggris akan menyebutnya “Sun”. Orang Bali menyebutnya sebagai Surya / Matanai. Orang Tengger menyebutnya “Srengenge” dan orang Sunda menyebutnya “Baskara”, kalangan ilmiah kadang menyebutkannya dengan istilah “Solar”. Apakah salah kalau kita menyebutkaan benda langit yang menyebabkan siang dan malam itu sebagai Sun, Surya, Matahari dan sebagainya? Tidak kan?

Demikian juga halnya dengan Sang Pencipta, Penguasa Alam Raya ini yang terkadang disebut “God atau Lord” oleh bangsa yang bertutur kata dengan bahasa inggris, disebut “Gusti” oleh orang Jawa, disebut Tuhan dalam bahasa Indonesia, Allah dalam bahasa Arab, Hyang Widdhi dalam bahasa Sansekerta, dan sebagainya. Salahkan orang yang menyebut Sang Pencipta dengan nama yang sesuai dengan bahasa yang digunakan di daerahnya?

Jika kita mau jujur, sebenarnya cara kita menyebut Sang Maha Pencipta adalah dengan menggunakan sifat-sifat dari beliau. Dalam Islam dikenal istilah Asmaaa-ul-husnaa, yaitu 100 nama suci Tuhan (1 nama belum diketahui) berdasarkan sifat-sifatnya. Menurut Akif Manaf Jabir, Ph.D (1997), Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa ada 99 nama Tuhan yang apabila seseorang melafalkan kesemua nama itu, maka ia akan masuk surga. Itulah sebabnya, biji tasbih yang digunakan oleh umat Islam untuk berzikir jumlahnya 99, mengikuti jumlah nama Allah itu.

Nama yang pertama adalah “Allah” yang berarti “that which there is no other” atau “hanya satu tiada duanya”. Nama inilah yang paling menonjol di antara nama-nama lainnya, sehingga lahirlah “Lailahaillalah”, atau “tiada Tuhan selain Allah.” Allah memiliki nama lain Al-Alim yaitu “Beliau Yang Maha Tahu”,Al-Kudus “Beliau Yang Maha Suci“, Al-Rahman “Maha Pengasih”, Al-Rahim “Maha penyayang”, Al-Awwal, Al-Akhir, Al-Sabr “Yang Paling Sabar” dan lain-lain.

Tentunya ke 99 nama Tuhan diatas dalam bahasa Arab, nah bagaimana halnya jika kita menyebutkan nama Tuhan dalam bahasa Veda, bahasa Sansekerta? Dalam Veda dikenal istilah “Visnusahasranama” yaitu 1000 nama suci Tuhan yang sesui dengan sifat-sifatnya yaitu antara lain Hyang Widdhi (Vidhi) “Yang Maha Tahu”, Krishna “Yang Maha Menarik”, Acintya “Yang Tidak Terpikirkan”, maadhavo, Visnu “Beliau yang ada dalam segala sesuatu”, Narayana, Govinda, dan sebagainya.

Terus bagaimana halnya dengan penyebutan Tuhan dalam bahasa yang lain? Tentu ada banyak sebutan unik yang tidak terhingga banyaknya sesuai dengan bahasa yang digunakan kan?

Jika dengan analogi diatas menyatakan bahwa Tuhan setiap orang sebenarnya hanya satu, lalu mengapa sebagian orang Islam masih tetap ngotot pada pendirian bahwa “orang yang tidak menyebut Tuhan dengan nama ‘Allah’ berarti kafir”? Mengapa mereka beranggapan bahwa tiada kebenaran lain dalam agama selain Islam? Jawabannya, semua itu dipengaruhi oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan dalam konteks situasi yang dihadapi oleh Nabi Muhammad. Pada masa itu, sebagian ayat-ayat seperti itu memang sesuai dengan keadaan jaman jahilliyah. Kalau kemudian ayat-ayat itu ditafsirkan apa adanya, tanpa memandang konteks situasi jaman yang sudah berubah, yang terjadi adalah sebuah kekonyolan semata.

No comments:

Post a Comment