Oleh : Js Kamdhi | 28-Mei-2011, 12:44:40 WIB |
KabarIndonesia - “Bermadahlah pada Tuhan dalam suka cita, datanglah kepada-Nya dengan sorak sorai.Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya. Sebab, Tuhan itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya.” (Mazmur 100: 2-5) Merefleksikan kata mulia kita berhadapan dengan tiga makna. Pertama, mulia berkait dengan kedudukan-pangkat-jabatan. Orang berpangkat-berkedudukan disebut orang-orang terhormat. Tak heran bila ada sebutan, “yang mulia, yang terhormat, yang dimuliakan, yang dihormati’. Kedua, mulia berkait dengan keluhuran budi. Berkait dengan karakter-watak-kepribadian. Orang disebut mulia tidak didasarkan kedudukan-jabatan-pangkat tetapi integritas pribadinya. Juga, tidak didasarkan pada kepemilikan-kekayaannya. Orang disebut mulia karena mampu mengangkat derajat-martabat sesamanya. Orang disebut mulia karena menjadi ‘the man for others’: berkontribusi dalam pemberdayaan-pencerdasan-penyejahteraan. Remaja Malang yang masih duduk di SMA adalah anak-anak mulia karena mampu mengharumkan bangsa-negara setelang dinobatkan sebagai innovator sepeda ramah lingkungan. Si kecil mungil dari Bandung, yang masih duduk di SD, menjadi anak mulia karena kepiawiannya ber-animasi. Kakak-adik pencipta antivirus lebih terhormat daripada sebutan kosong ‘wakil rakyat yang terhormat’. Ketiga, mulai berarti berkualitas. Dapat untuk realitas-benda-persona. Manusia mulia adalah manusia-manusia yang berdaya hidup. Selalu dan terus-menerus berbuat-bekerja demi pencerahan-pencerdasan-penyejahteraan sesama. Para petani yang tetap berjuang melawan hama-rentenir-hasil pertanian impor lebih mulia dibandingkan mereka yang piawi memark-up proyek-proyek. Nelayan yang tetap tegar-tegak-tanggung menantang badai tentu lebih mulia dibandingkan mereka yang ‘mendipositokan’ tunjangan sertifikasi bagi pada pahlawan tanpa tanda jasa. “Bermadahlah pada Tuhan dalam suka cita, datanglah kepada-Nya dengan sorak sorai.Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur ke dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah nama-Nya. Sebab, Tuhan itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya.” Sahabat, layakkah kita menyebut diri orang mulai? Adakah makna puisi agung, mazmur Daud, menyentuh batin-rohani kita hingga kita terinspirasi untuk berjuang dalam pergumulan-pergulatan hidup? Adakah kata yang menusuk kesadaran kita hingga kita ‘menepuk dada’ dan berucap, “Tuhan jadikanlah aku pembawa damai, kebahagiaan, kesejahteraan bagi sesama?” Menjadi orang mulia hanya terjadi bila kita hidup dalam ‘kuasa Sang Sumber Kemuliaan’. Ada dan berada bersama ‘Sang Sumber Kemuliaan’ menjadikan kita untuk selalu berkerendahan hati hingga cerdas mempermuliakan sesame, tanpa melihat sekat-sekat lahiriah. Ada dan berada bersama “Sang Sumber Kemuliaan” menjadikan kita selalu berjuang agar sesama lebih sejahtera-damai-bahagia. Selalu dan terus-menerus berjuang terwujudnya kerinduan hakiki manusia hidup dalam damai sejahtera. Dalam alur pergumulan dan pergulatan hidup inilah kita mampu menangkap kemuliaan Tuhan yang kongkret-nyata dalam diri sesama. Kita mampu merasakan keluhuran dan keagungan Tuhan dalam diri sesama dan seluruh makhluk ciptaan-Nya. Cerdas datang pada Tuhan melalui pintu gebang-Nya dengan penuh syukur menjadikan kita mampu mengenyam kebaikan dan kesetiaan Tuhan pada langkah-langkah hidup dan kehidupan kita. Selalu dan terus-menerus kita berjalan bersama Tuhan. Selalu dan terus-menerus kita menyinarkan kasih setia-Nya dalam perkataan-perbuatan. Hingga, kita seolah menjadi pohon yang dikenal dari buahnya. Sahabat, hidup ini sangat singkat. Kita harus memilih ada dan berada bersama Tuhan atau hidup tanpa Tuhan. Inilah iman. Dan, inilah pergumulan dan pergulatan hidup yang Tuhan kehendaki. Tuhan memberkati…(*) |
Monday, May 30, 2011
CERDAS MEMULIAKAN TUHAN
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment